Para pengingkar maulid Nabi yakni wahabi-salafi di bulan mulia ini
yakni Rabiul Awwal, mereka seperti cacing kepanasan yang ditaburi garam.
Mereka teriak susah karenanya banyaknya kaum muslimin yang melakukan
perayaan Maulid Nabi shallahu ‘alaihi wa sallam. Saya jadi teringat
ucapan Ibn Mukhlid dalam tafsirnya berikut ini :
أن إبليس رن أربع رنات: رنة حين لعن، ورنة حين أهبط الى الأرض، ورنة حين
ولد رسول الله صلى الله عليه وسلم، ورنة حين أنزلت فاتحة الكتاب
“ Sesungguhnya Iblis berteriak sambil menangis pada empat kejadian :
pertama ketika ia dilaknat oleh Allah, Kedua ketika ia diusir ke bumi,
ketiga ketika Rasulullah shallahu ‘alaihi wa sallam dilahirkan dan
keempat ketika surat al-Fatehah diturunkan “.[1]
1476762_10201216862329647_2027166840_n
Dan wahabi-salafi, tanpa sadar mereka telah mengikuti sunnah Iblis
dengan teriak susah ketika tiba hari kelahiran Nabi shallahu ‘alaihi wa
sallam ini.
Kali ini kami akan menulis bantahan ilmiyyah atas dusta wahabi-salafi
yang menuduh bahwa Maulid pertama kali diadakan oleh Syi’ah
Fathimiyyun. Kami juga akan membongkar kecurangan mereka dengan
menggunting ucapan syaikh al-Maqrizi terhadap teks yang menampilkan
keagungan perayaan Maulid Nabi yang diselerenggarakan para raja yang
adil dan para ulama besar dari kalangan empat madzhab. Tidak sedikit
artikel wahabi yang mengcopy paste dusta tersebut termasuk syaikh
al-Fauzan dalam fatwanya. Berikut salah satu artikel dusta wahabi di : http://artikelassunnah.blogspot.com/2012/01/ternyata-maulid-nabi-berasal-dari-syiah.html
Jika kita menelusuri dalam kitab tarikh (sejarah), perayaan Maulid
Nabi tidak kita temukan pada masa sahabat, tabi’in, tabi’ut tabi’in dan
empat Imam Madzhab (Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafi’i dan Imam
Ahmad), padahal mereka adalah orang-orang yang sangat cinta dan
mengagungkan Nabinya shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mereka adalah
orang-orang yang paling paham mengenai sunnah Nabinya shallallahu
‘alaihi wa sallam dan paling semangat dalam mengikuti setiap ajaran
beliau.
Perlu diketahui pula bahwa -menurut pakar sejarah yang terpercaya-,
yang pertama kali mempelopori acara Maulid Nabi adalah Dinasti
‘Ubaidiyyun atau disebut juga Fatimiyyun (silsilah keturunannya
disandarkan pada Fatimah). Sebagai buktinya adalah penjelasan berikut
ini.
Al Maqriziy, seorang pakar sejarah mengatakan, “Para khalifah
Fatimiyyun memiliki banyak perayaan sepanjang tahun. Ada perayaan tahun
baru, hari ‘Asyura, maulid (hari kelahiran) Nabi, maulid Ali bin Abi
Thalib, maulid Hasan dan Husain, maulid Fatimah al Zahra, maulid
khalifah yang sedang berkuasa, perayaan malam pertama bulan Rajab,
perayaan malam pertengahan bulan Rajab, perayaan malam pertama bulan
Sya’ban, perayaan malam pertengahan bulan Rajab, perayaan malam pertama
bulan Ramadhan, perayaan malam penutup Ramadhan, perayaan ‘Idul Fithri,
perayaan ‘Idul Adha, perayaan ‘Idul Ghadir, perayaan musim dingin dan
musim panas, perayaan malam Al Kholij, hari Nauruz (Tahun Baru Persia),
hari Al Ghottos, hari Milad (Natal), hari Al Khomisul ‘Adas (3 hari
sebelum paskah), dan hari Rukubaat.” (Al Mawa’izh wal I’tibar bi Dzikril
Khutoti wal Atsar, 1/490. Dinukil dari Al Maulid, hal. 20 dan Al Bida’
Al Hawliyah, hal. 145-146)
Asy Syaikh Bakhit Al Muti’iy, mufti negeri Mesir dalam kitabnya
Ahsanul Kalam (hal. 44) mengatakan bahwa yang pertama kali mengadakan
enam perayaan maulid yaitu: perayaan Maulid (hari kelahiran) Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam, maulid ‘Ali, maulid Fatimah, maulid Al
Hasan, maulid Al Husain –radhiyallahu ‘anhum- dan maulid khalifah yang
berkuasa saat itu yaitu Al Mu’izh Lidinillah (keturunan ‘Ubaidillah dari
dinasti Fatimiyyun) pada tahun 362 H.
Begitu pula Asy Syaikh ‘Ali Mahfuzh dalam kitabnya Al Ibda’ fi
Madhoril Ibtida’ (hal. 251) dan Al Ustadz ‘Ali Fikriy dalam Al
Muhadhorot Al Fikriyah (hal. 84) juga mengatakan bahwa yang mengadakan
perayaan Maulid pertama kali adalah ‘Ubaidiyyun (Fatimiyyun). (Dinukil
dari Al Maulid, hal. 20)
Jawaban kami :
Pernyataan di atas tidak benar sama sekali. Dan jauh dari fakta kebenarannya…
Pertama : Memperingati hari kelahiran (maulid) Nabi sudah ada sejak
masa Nabi shallahhu ‘alaihi wa sallam sendiri. Yakni dari segi
mengagungkan hari di mana Nabi dilahirkan dengan melakukan suatu ibadah
yaitu berpuasa.
Ketika Rasulullah shallahu ‘alaihi wa sallam ditanya tentang puasa hari senin, beliau menjawab :
ذاك يوم ولدت فيه ويوم بعثت اوانزل علي فيه
“ Hari itu hari aku dilahirkan, hari aku diutus atau diturunkan wahyu kepadaku “ (HR. Muslim)
Ini merupakan dalil nyata bolehnya memperingati hari kelahiran
(maulid) beliau yang saat itu dirayakan oleh Nabi dengan salah satu
macam ibadah yaitu berpuasa. Dan ini merupakan fakta bahwa beliaulah
pertama kali yang mengangungkan hari kelahirannya sendiri dengan
berpuasa. Maka mengagungkan hari di mana beliau dilahirkan merupakan
sebuah sunnah yang telah Nabi contohkan sendiri. Ini asal dan esensi
dari acara maulid Nabi.
Kedua : Merayakan, mengagungkan dan memperingati hari kelahiran
(maulid) Nabi dengan berbagai cara dan program sudah sejak lama diikuti
oleh para ulama dan raja-raja yang shalih. Kita kupas sejarahnya di sini
:
1. Ibnu Jubair seorang Rohalah[2] (lahir pada tahun 540 H) mengatakan dalam kitabnya yang berjudul Rihal :
يفتح هذا المكان المبارك أي منزل النبي صلى الله عليه وسلم ويدخله جميع
الرجال للتبرّك به في كل يوم اثنين من شهر ربيع الأول ففي هذا اليوم وذاك
الشهر ولد النبي صلى الله عليه وسلم
“ Tempat yang penuh berkah ini dibuka yakni rumah Nabi shallahu
‘alaihi wa sallam, dan semua laki-laki memasukinya untuk mengambil
berkah dengannya di setiap hari senin dari bulan Rabi’ul Awwal. Di hari
dan bulan inilah Nabi shallahu ‘alaihi wa sallam dilahirkan “[3]
Dari sini sudah jelas bahwa saat itu perayaan maulid Nabi merupakan
sudah menjadi tradisi kaum muslimin di Makkah sebelum kedatangan Ibnu
Jubair di Makkah dan Madinah dengan acara yang berbeda yaitu membuka
rumah Nabi untuk umum agar mendapat berkah dengannya. Ibnu Jubair masuk
ke kota Makkah tanggal 16 Syawwal tahun 579 Hijriyyah. Menetap di sana
selama delapan bulan dan meninggalkan kota Makkah hari Kamis tanggal 22
bulan Dzul Hijjah tahun 579 H, dengan menuju ke kota Madinah
al-Munawwarah dan menetap selama 5 hari saja.
2. Syaikh Umar al-Mulla seorang syaikh yang shalih yang wafat pada
tahun 570 H, dan shulthan Nuruddin Zanki seorang pentakluk pasukan
salib. Kita simak penuturan syaikh Abu Syamah (guru imam Nawawi) tentang
dua tokoh besar di atas :
قال العماد: وكان بالموصل رجل صالح يعرف بعمر الملاَّ، سمى بذلك لأنه
كان يملأ تنانير الجص بأجرة يتقوَّت بها، وكل ما عليه من قميص ورداء، وكسوة
وكساء، قد ملكه سواه واستعاره، فلا يملك ثوبه ولا إزاره. وكن له شئ فوهبه
لأحد مريديه، وهو يتجر لنفسه فيه، فإذا جاءه ضيف قراه ذلك المريد. وكان ذا
معرفة بأحكام القرآن والأحاديث النبوية.كان العلماء والفقهاء، والملوك
والأمراء، يزورونه في زاويته، ويتبركون بهمته، ويتيمنَّون ببركته. وله كل
سنة دعوة يحتفل بها في أيام مولد رسول الله صلى الله عليه وسلم يحضره فيها
صاحب الموصل، ويحضر الشعراء وينشدون مدح رسول الله صلى الله عليه وسلم في
المحفل. وكان نور الدين من أخص محبيه يستشيرونه في حضوره، ويكاتبه في مصالح
أموره
“ al-‘Ammad mengatakan , “ Di Mosol ada seorang yang shalih yang
dikenal dengan sebutan Umar al-Mulla, disebut dengan al-Mulla sebab
konon beliau suka memenuhi (mala-a) ongkos para pembuat dapur api
sebagai biaya makan sehari-harinya, dan semua apa yang ia miliki berupa
gamis, selendang, pakaian, selimut, sudah dimiliki dan dipinjam oleh
orang lain, maka beliau sama sekali tidak pakaian dan sarungnya. Jika
beliau memiliki sesuatu, maka beliau memberikannya kepada salah satu
muridnya, dan beliau menyewa sesuatu itu untuknya, maka jika ada tamu
yang datang, murid itulah yang menjamunya. Beliau seorang yang memiliki
pengetahuan tentang hokum-hukum al-Quran dan hadits-hadits Nabi. Para
ulama, ahli fiqih, raja dan penguasa sering menziarahi beliau di
padepokannya, mengambil berkah dengan sifat kesemangatannya, mengharap
keberkahan dengannya. Dan beliau setiap tahunnya mengadakan peringatan
hari kelahiran (maulid) Nabi shallahu ‘alaihi wa sallam yang dihadiri
juga oleh raja Mosol. Para penyair pun juga datang menyenandungkan
pujian-pujian kepada Nabi shallahu ‘alaihi wa sallam di perayaan
tersebut. Shulthan Nuruddin adalah salah seorang pecintanya yang merasa
senang dan bahagia dengan menghadiri perayaan maulid tersebut dan selalu
berkorespondesi dalam kemaslahatan setiap urusannya “.[4]
Ini juga disebutkan oleh al-Hafidz Ibnu Katsir dalam Tarikh pada bab
Hawadits 566 H. al-Hafidz adz-Dzahabi mengatakan tentang syaikh Umar
ash-Shalih ini : “
وقد كتب الشيخ الزاهد عمر الملاّ الموصلي كتاباً إلى ابن الصابوني هذا يطلب منه الدعاء
“ Dan sungguh telah menulis syaikh yang zuhud yaitu Umar al-Mulla
al-Mushili sebuah tulisan kepada Ibnu ash-Shabuni, “ Ini orang meminta
ddoa darinya “.[5]
Adz-Dzahabi dalam kitab lainnya juga mengatakan :
وكان ذلك تحت إمرة الملك العادل السُّنِّيِّ نور الدين محمود زنْكِي
الذي أجمع المؤرخون على ديانته وحسن سيرته، وهو الذي أباد الفاطميين بمصر
واستأصلهم وقهر الدولة الرافضية بها وأظهر السنة وبني المدارس بحلب وحمص
ودمشق وبعلبك وبنى المساجد والجوامع ودار الحديث
“ Beliau (syaikh Umar) di bawah kekuasaan raja yang adil yang sunni
yaitu Nuruddin Mahmud Zanki, yang para sejarawan telah ijma’
(konsesus/sepakat) atas kebaikan agama dan kehidupannya. Beliaulah yang
telah memusnahkan dinasti Fathimiyyun di Mesir sampai ke akar-akarnya,
menghancurkan kekuasaan Rafidhah. Menampakkan (menzahirkan) sunnah,
membangun madrasah-madrasah di Halb, Hamsh, Damasqus dan Ba’labak, juga
membangun masjid-masjid Jami’ dan pesantren hadits “[6]
Al-Hafidz Ibnu Katsir menceritakan sosok raja Nuruddin Zanki sebagai berikut :
أنّه كان يقوم في أحكامه بالمَعدلَةِ الحسنة وإتّباع الشرع المطهّر
وأنّه أظهر ببلاده السنّة وأمات البدعة وأنّه كان كثير المطالعة للكتب
الدينية متّبعًا للآثار النبوية صحيح الاعتقاد قمع المناكير وأهلها ورفع
العلم والشرع
“ Beliau adalah seorang raja yang menegakkan hokum-hukumnya dengan
keadilan yang baik dan mengikuti syare’at yang suci. Beliau menampakkan
sunnah dan mematikan bid’ah di negerinya. Beliau seorang yang banyak
belajar kitab-kitab agama, pengikut sunnah-sunnah Nabi, akidahnya sahih,
pemusnah kemungkaran dan pelakuknya, pengangkat ilmu dan syare’at “.[7]
Ibnu Atsir juga mengatakan :
طالعت سِيَرَ الملوك المتقدمين فلم أر فيها بعد الخلفاء الراشدين وعمر
بن عبد العزيز أحسن من سيرته, قال: وكان يعظم الشريعة ويقف عند أحكامها
“ Aku telah mengkaji sejarah-sejarah kehidupan para raja terdahulu,
maka aku tidak melihat setelah khalifah rasyidin dan Umar bin Abdul Aziz
yang lebih baik dari sejarah kehidupannya (Nurruddin Zanki). Beliau
pengangung syare’at dan tegak di dalam hokum-hukumnya “.[8]
Pertanyaan buat para pengingkar Maulid Nabi shallahu ‘alaihi wa sallam :
Jika seandainya Maulid Nabi itu bid’ah dholalah yang sesat dan
pelakunya disebut mubtadi’ (pelaku bid’ah) dan terancam masuk neraka,
apakah anda akan mengatakan bahwa syaikh Umar al-Mulla dan raja yang
adil Nuruddin Zanki adalah orang-orang pelaku bid’ah dan terancam masuk
neraka ?? padahal para ulama sejarawan sepakat (ijma’) bahwa syaikh Umar
adalah orang shalih dan zuhud, raja Nuruddin adalah raja yang adil,
berakidah sahih, pecinta sunnah bahkan menampakkanya dan juga pemusnah
bid’ah di negerinnya, sebagaimana telah saya buktikan faktanya di atas…
Bagaimana mungkin para ulama sejarawan di atas, mengatakan penzahir
(penampak) sunnah Nabi dan pemusnah bid’ah jika ternyata pengamal Maulid
Nabi yang kalian anggap bid’ah sesat ?? ini bukti bahwa Maulid Nabi
bukanlah bid’ah. Renungkanlah hal ini wahai para pengingkar Maulid Nabi…
3. Kemudian berlanjut perayaan tersebut yang dilakukan oleh seorang
raja shaleh yaitu raja al-Mudzaffar penguasa Irbil, seorang raja orang
yang pertama kali merayakan peringatan maulid Nabi dengan program yang
teratur dan tertib dan meriah. Beliau seorang yang berakidahkan Ahlus
sunnah wal jama’ah.
Al-Hafidz Ibnu Katsir mengatakan :
ابن زين الدين علي بن تبكتكين أحد الاجواد والسادات الكبراء والملوك
الامجاد له آثار حسنة…. وكان يعمل المولد الشريف في ربيع الاول ويحتفل به
احتفالا هائلا وكان مع ذلك شهما شجاعا فاتكا بطلا عاقلا عالما عادلا رحمه
الله وأكرم مثواه وقد صنف الشيخ أبو الخطاب ابن دحية له مجلدا في المولد
النبوي سماه التنوير في مولد البشير النذير فأجازه على ذلك بألف دينار وقد
طالت مدته في الملك في زمان الدولة الصلاحية وقد كان محاصر عكا وإلى هذه
السنة محمود السيرة والسريرة قال السبط حكى بعض من حضر سماط المظفر في بعض
الموالد كان يمد في ذلك السماط خمسة آلاف راس مشوى وعشرة آلاف دجاجة ومائة
ألف زبدية وثلاثين ألف صحن حلوى
“ Beliau adalah putra Zainuddin Ali bin Tabkitkabin salah seorang
tokoh besar dan pemimpin yang agung. Beliau memiliki sejarah hidup yang
baik. Beliau yang memakmurkan masjid al-Mudzhaffari….dan beliau konon
mengadakan acara Maulid Nabi yang mulia di bulan Rabiul Awwal, dan
merayakannya dengan perayaan yang meriah, dan beliau adalah seorang raja
yang cerdas, pemberani, perkasa, berakal, alim dan adil –semoga Allah
merahmatinya dan memuliakan tempat kembalinya- syaikh Abul Khaththab
Ibnu Dihyah telah mengarang kitab berjilid-jilid tentang Maulid Nabi
shallahu ‘alaihi wa sallam yang dinamakannya “ At-Tanwir fi Maulid
al-Basyir an-Nadzir “, lalu diberikan balasan atas usaha itu oleh raja
sebesar seribu dinar. Masa kerajaannya begitu panjang di zaman Daulah
shalahiyyah. Beliau pernah mengepung negeri ‘Ukaa. Di tahun ini beliau
baik kehidupannya lahir dan bathin. As-Sibth mengatakan, “ Seorang yang
menghadiri kegiatan raja al-Mudzaffar pada beberapa acara maulidnya
mengatakan, “ Beliau pada perayaan maulidnya itu menyediakan 5000 kepala
kambing yang dipanggang, 10.000 ayam panggang, 100.000 mangkok besar
(yang berisi buah-buahan), dam 30.000 piring berisi manisan “.[9]
Adz-Dzahabi juga mengatakan tentang sifat-sifat beliau :
وَكَانَ مُتَوَاضِعاً، خَيِّراً، سُنِّيّاً، يُحبّ الفُقَهَاء
وَالمُحَدِّثِيْنَ، وَرُبَّمَا أَعْطَى الشُّعَرَاء، وَمَا نُقِلَ أَنَّهُ
انْهَزَم فِي حرب
“ Beliau adalah orang yang rendah hati, sangat baik, seorang yang
berakidahkan Ahlus sunnah, pecinta para ahli fiqih dan hadits, terkadang
suka memberi hadiah kepada para penyair, dan tidak dinukilkan bahwa
beliau kalah dalam pertempuran “[10]
Pertanyaan buat para pengingkar Maulid Nabi shallahu ‘alaihi wa sallam :
Adakah para ulama sejarawan di atas menyebutkan raja Mudzaffar adalah
seorang pelaku bid’ah dholalah karena melakukan perayaan Maulid Nabi ??
justru mereka menyebutkan bahwa beliau adalah seorang raja adil, rendah
hati, pemberani dan berakidahkan Ahlus sunnah. Renungkanlah hal ini
wahai wahabi…
Ketiga : Seandainya Fathimiiyun juga membuat perayaan Maulid Nabi
sebagaimana para pendahulu kami, maka hal ini bukanlah suatu keburukan
karena kami hanya menolak kebathilan para pelaku bid’ah dholalah, bukan
menolak kebenaran mereka yang sesuai dengan Ahlus sunnah.
Keempat : Wahabi telah melakukan kecurangan ilmiyyah dengan
mengunting teks (nash) dari al-Maqrizi. Mereka tidak menampilkan redaksi
atau teks berikutnya yang dinyatakan oleh al-Maqrizi dalam kitabnya
tersebut. Lebih lanjutnya beliau menceritkan bahwasanya para khalifah
muslimin, mengadakan perayaan maulid yang dihadiri oleh para qadhi dari
kalangan empat madzhab dan para ulama yang masyhur, berikut redaksinya
yang disembunyikan dan tidak berani ditampilkan wahabi :
فلما كانت أيام الظاهر برقوق عمل المولد النبويّ بهذا الحوض في أوّل
ليلة جمعة من شهر ربيع الأول في كلّ عام فإذا كان وقت ذلك ضربت خيمة عظيمة
بهذا الحوض وجلس السلطان وعن يمينه شيخ الإسلام سراج الدين عمر بن رسلان بن
نصر البلقيني ويليه الشيخ المعتقد إبراهيم برهان الدين بن محمد بن بهادر
بن أحمد بن رفاعة المغربيّ ويليه ولد شيخ الإسلام ومن دونه وعن يسار
السلطان الشيخ أبو عبد الله محمد بن سلامة التوزريّ المغربيّ ويليه قضاة
القضاة الأربعة وشيوخ العلم ويجلس الأمراء على بعد من السلطان فإذا فرغ
القراء من قراءة القرآن الكريم قام المنشدون واحدًا بعد واحد وهم يزيدون
على عشرين منشدًا فيدفع لكل واحد منهم صرّة فيها أربعمائة درهم فضة ومن كلّ
أمير من أمراء الدولة شقة حرير فإذا انقضت صلاة المغرب مدّت أسمطة الأطعمة
الفائقة فأكلت وحمل ما فيها ثم مدّت أسمطة الحلوى السكرية من الجواراشات
والعقائد ونحوها فتُؤكل وتخطفها الفقهاء ثم يكون تكميل إنشاد المنشدين
ووعظهم إلى نحو ثلث الليل فإذا فرغ المنشدون قام القضاة وانصرفوا وأقيم
السماع بقية الليل واستمرّ ذلك مدّة أيامه ثم أيام ابنه الملك الناصر فرج
“ Maka ketika sudah pada hari-hari yang tampak dengan ruquq,
diadakanlah perayaan Maulid Nabi di telaga ini pada setiap malam Jum’at
bulan Rabiul Awwal di setiap tahunnya. Kemduian Shulthan duduk, dan di
sebelah kanannya duduklah syaikh Islam Sirajuddin Umar bin Ruslan bin
Nashr al-Balqini, di dekat beliau ada syaikh al-Mu’taqad Ibrahim
Burhanuddin bin Muhammad bin Bahadir bin Ahmad bin Rifa’ah al-Maghrabi,
di sampingnya lagi ada putra syaikh Islam dan orang-orang selainnya, dan
di sebelah kirinya ada syaikh Abu Abdillah bin Muhammad bin Sallamah
at-Tuzari al-Maghrabi, di sampingnya lagi ada para qadhi dari kalangan
empat madzhab, dan para syaikh ilmu, juga para penguasa yang duduk
sedikit jauh dari shulthan. Jika telah selesai membaca al-Quran, maka
beridrilah para nasyid satu persatu membawakan sebuah nasyidah, mereka
lebih dari 20 orang nasyid, masing-masing diberikan sekantong uang yang
di dalamnya berisi 4000 ribu dirham perak. Dan bagi setiap amir daulah
diberikan kaen sutra. Dan jika telah selesai sholat maghrib, maka
dihidangkanlah hidangan makanan yang mewah yang dimakan oleh semuanya
dan dibawa pulang. Kemduian dibeberkan juga hidangan manisan yang juga
dimakan semuanya dan para ulama ahli fiqih. Kemduian disempurnakan
dengan nasyid pada munsyid dan nasehat mereka sampai sepertiga malam.
Dan jika para munsyid selasai, maka berdirilah para qadhi dan mereka
kembali pulang. Dan diperdengarkan sebuah senandung pujian di sisa malam
tersebut. Hal ini terus berlangsung di masanya dan masa-masa anaknya
yaitu an-Nahsir Faraj “.[11]
Kisah yang sama ini juga diceritakan oleh seorang ulama pakar sejarah
yaitu syaikh Jamaluddin Abul Mahasin bin Yusufi bin Taghribardi dalam
kitab Tarikhnya “ an-Nujum az-Zahirah fii Muluk Mesir wal Qahirah “ pada
juz 12 halaman 72.
Hal yang serupa juga disebutkan oleh al-Hafidz Ibnu Hajar secara ringkas dalam kitabnya Anba al-Ghumar sebagai berikut :
وعمل المولد السلطاني المولد النبوي الشريف على العادة في اليوم الخامس
عشر، فحضره البلقيني والتفهني وهما معزولان، وجلس القضاة المسفزون على
اليمين وجلسنا على اليسار والمشايخ دونهم، واتفق أن السلطان كان صائما،
فلما مد السماط جلس على العادة مع الناس إلى إن فرغوا، فلما دخل وقت المغرب
صلوا ثم أحضرت سفرة لطيفة، فاكل هو ومن كان صائما من القضاة وغيرهم
“ Dan perayaan maulid shulthan yaitu Maulid Nabi yang Mulia seprti
biasanya (tradisi) pada hari kelima belas, dihadiri oleh syaikh
al-Balqini dan at-Tifhani, keduanya mantan qadhi. Para qadhi lainnya
duduk di sebalah kanan beliau, dan kami serta para masyaikh duduk di
sebelah kiri. Disepakati bahwa shulthan saat itu dalam keadaan puasa,
maka ketika dibentangkanlah seprei makanan, beliau duduk seperti
biasanya bersama prang-orang sampai selesai. Maka ketika masuk waktu
maghrib, mereka sholat kemudian dihidangkanlah hidangan makanan yang
lembut, maka beliau makan bersama orang-orang yang berpuasa dari para
qadhi dan lainnya “[12]
Dengan ini jelas lah sudah bahwa wahabi telah melakukan kecurangan
ilmiyyah dengan tidak menampilkan redaksi (teks) selanjutnya yang
membicarakan perhatian para raja dan ulama besar terhadap perayaan
Maulid Nabi shallahu ‘alaihi wa sallam saat itu. Ini merupakan tadlis,
talbis dan penipuan besar di hadapan public…naudzu billah min dzaalik.
Kesimpulannya :
1. Perayaan Maulid Nabi, esensinya telah dicontohkan oleh Nabi
shallahu ‘alaihi wa sallam sendiri yaitu saat beliau mengangungkan dan
memperingati hari kelahiran beliau dengan melakukan satu ibadah sunnah
yaitu puasa. Maka pada hakekatnya perayaan Maulid Nabi adalah sunnah
Nabi shallahu ‘alaihi wa sallam.
2. Perayaan Maulid Nabi yang dilanjutkan dengan para raja yang adil
dan para ulama yang terkenal adalah dalam rangka menghidupkan sunnah
Nabi yaitu memperingati hari kelahiran Nabi, namun dengan metode dan
cara yang berbeda yang berlandaskan syare’at seperti membaca al-Quran,
bersholawat dan bersedekah. Metode ini sama sekali tidak bertentangan
dengan syare’at Nabi.
3. Tuduhan wahabi bahwa yang melakukan Maulid pertama kali adalah
dari Syi’ah Fathimiyyun adalah dusta belaka dan bertentangan dengan
fakta kebenarannya.
4. Wahabi telah melakukan kecurangan ilmiyyah dengan menggunting dan
tidak menampilkan teks al-Maqrizi yang menceritakan perhatian para raja
adil dan ulama terkenal dari kalangan empat madzhab terhadap Maulid Nabi
shallahu ‘alaihi wa sallam.
Shofiyyah an-Nuuriyyah & Ibnu Abdillah Al-Katibiy
Kota Santri, 6 Rabiul Awwal 1435 H / 08-Januari-2014
[1] Ini disebutkan oleh syaikh Ibnu Muflih dari Ibn Mukhlid yang
mengisahkan kisah ini dari Hasan al-Bashri. Bisa juga dilihat di kitab
Syarh kitab Tauhid di : http://islamport.com/w/aqd/Web/1762/961.htm
[2] Seorang penjelaja tempat-tempat dan daerah-daerah jauh.
[3] Rihal, Ibnu Jubair : 114-115
[4] Ar-Roudhatain fii Akhbar ad-Daulatain, Abu Syamah, pada fashal (bab) : Hawadits (peristiwa) tahun 566 H.
[5] Tarikh al-Islam, adz-Dzahabi : 41 / 130
[6] Siyar A’lam an-Nubala, adz-Dzahabi : 20 / 532
[7] Tarikh Ibnu Katsir : 12 / 278
[8] Tarikh Ibnu Atsir : 9 / 125
[9] Al-Bidayah wa an-Nihayah, Ibnu Katsir : 13/ 136
[10] Siyar A’lam an-Nubala : 22 / 336
[11] Al Mawa’izh wal I’tibar bi Dzikril Khutoti wal Atsar : 3 / 167
[12] Anba al-Ghumar : 2 / 562
sumber
Tidak ada komentar:
Posting Komentar