Syekh Abdul Qadir Al-Jailani mengatakan, “Melihat Allah SWT itu boleh dilakukan dengan dua macam. Pertama, melihat Jamalullah
tanpa perantara cermin kalbu di akhirat (Alam Lahut). Kedua, melihat
sifat Allah SWT di muka bumi dengan perantara cermin kalbu, yakni dengan
penglihatan mata hati (fuad) dari pantulan cahaya Jamalullah.”
Allah SWT berfirman, “hatinya tidak berdusta terhadap apa yang dilihatnya,” (QS An-Najm [53]: 11)
Rasulullah SAW bersabda, “Al-mu’minu miratul-Mu’min. (Kalbu seorang
mukmin adalan cermin daei Allah yang bersifat Al-Mukmin)” -HR Abu Dawud.
Kata “mu’min” yang pertama pada hadis di atas adalah kalbu hamba Allah
yang beriman, sedangkan kata “al-Mu’min” yang kedua adalah Zat Allah
yang memiliki sifat Al-Mukmin.
Penglihatan yang dimaksud di atas
adalah penglihatan pada sifat-sifat Allah SWT dari segala sesuatu yang
ada dan terjadi di muka bumi ini. Seperti hanyanya saat seseorang
melihat sinar matahari dari misykat (lubang yang tidak tembus), maka
bisa saja dia berkata “Aku melihat matahari dengan cara apa pun.”
Allah SWT memberi perumpamaan dalam Al-Quran: “Perumpamaan cahaya Allah
adalah seperti lubang yang tidak tembus di dalamnya ada pelita besar.
Pelita itu di dalam kaca dan kaca itu seakan-akan bintang (yang
bercahaya) seperti mutiara, yang dinyalakan dengan minyak dari pohon
zaitun.”(QS An-Nur [24]: 35).
Para ahli tasawuf mengatakan bahawa
yang dimaksud dengan misykat adalah kalbu orang Mukmin. Sedangkan yang
dimaksud dengan Sirr Al-Fuad (rahasia mata hati) yaitu Ruh Sulthani
dalam diri manusia. Adapun Fuad adalah (mata hati) yang Allah sifati
dengan gemerlapan kerana kekuatan yang luar biasa.
Di ayat itu
pula, Allah SWT menjelaskan tentang sumber cahaya, yakni pohon talqin
dan tauhid yang murni keluar dari Lisan Al-Qudsi tanpa perantara. Hal
tersebut seperti saat Nabi Muhammad SAW menerima Al-Quran dari Allah
secara utuh, kemudian malaikat Jibrail menyampaikan kepada Nabi secara
berangsur-angsur untuk kemaslahatan umat dan meluruskan keingkaran orang
kafir dan munafik.
--Syekh Abdul Qadir Al-Jailani dalam Sirrul Asrar
sumber
Tidak ada komentar:
Posting Komentar