HOME | CARI ARTIKEL DI SINI

Sabtu, 25 Juli 2015

Sejauh Mana Rindu Kita Berjumpa Dengan Nabi SAW

Sejauh Mana Rindu Kita Berjumpa Dengan Nabi SAW
Jika cintamu kepada Rasulullah SAW seperti cintamu kepada air dingin itu, engkau akan bermimpi bertemu Rasulullah SAW.”
Syaikh Ahmad bin Muhammad bin Mukhtar At-Tijani (1150 H/1737 M) adalah imam besaar yang diyakini sebagai seorang wali quthb. Sejak usia tujuh tahun Syaikh At-Tijani telah hafal Al-Qur’an. Kemudian pada usia dua puluh tahun ia telah mendalami berbagai ca­bang ilmu; baik ilmu ushul, ilmu furu’, mau­pun ilmu adab. Menginjak usia tiga puluh satu tahun, Syaikh At-Tijani mendalami ilmu tasawuf dan terjun dalam dunia sufi sampai memasuki usia empat puluh enam tahun. Ia membersihkan jiwa, tenggelam dalam mengamalkan amalan thariqah dibarengi kunjungan kepada para wali besar di berbagai belahan daerah, se­perti Tunisia, Mesir, Makkah, Madinah, Fez (Maroko), dan Abu Samghun. Kun­jungan kepada wali-wali besar itu dalam upaya silaturahim dan menapaki hik­mah-hikmah kewalian secara lebih luas.
Pada saat itu para wali besar telah melihat dan mengakui bahwa Syaikh At-Tijani adalah wali besar, bahkan lebih tinggi derajatnya dari yang lain. Ungkap­an kesaksian demikian karena di dunia sufi diakui bahwa derajat kewalian hanya bisa di­ketahui oleh sesama wali, yang haki­katnya berasal dari Allah SWT. Derajat wali, semata karena Allah, anugerah dari Allah, tidak bisa diketahui kecuali atas kehendak Allah.
Proses panjang Syaikh At-Tijani me­napaki hikmah-hikmah kewalian melalui perja­lanan panjang mengunjungi para awliya’ besar, berakhir di sebuah padang sahara bernama Abu Samghun di wila­yah Alja­zair. Syaikh At-Tijani meng­un­jungi dae­rah Abu Samghun pada tahun 1196 H/1782 M. Di tempat inilah ia men­capai anu­gerah al-fath al-akbar (pembu­kaan be­sar) dari Allah.
Pada saat al-fath al-akbar ini Syaikh At-Tijani mengaku berjumpa dengan Ra­sulullah SAW secara yaqzhah, sadar la­hir dan bathin. Pada saat itu ia mendapat talqin (pengajaran) tentang wirid-wirid dari Rasulullah SAW berupa istighfar 100 kali dan shalawat 100 kali. Empat tahun kemudian, pada tahun 1200 H/1786 M, wirid itu disempurnakan lagi oleh Rasulullah SAW dengan baca­an dzikir Hailalah (La ilaha illallah) 100 kali. Wirid-wirid yang diajarkan langsung oleh Rasulullah SAW melalui perjumpa­an secara yaqzhah inilah yang menjadi awal mula berdirinya Thariqah At-Tija­niyah.
Penggalan kisah perjalanan ruhani Syaikh At-Tijani di atas hingga bertemu dengan Rasulullah SAW dalam keadaan sadar lahir bathin adalah anugerah Ilahi­yah hasil dari perjalanan panjang yang tidak setiap orang dapat melakukannya, kecuali mereka yang terpilih sebagai ke­kasih-kekasih Allah.
Bertemu dengan Rasulullah SAW se­perti yang dialami oleh Syaikh At-Tijani hanyalah satu dari berjuta lembar­an riwayat yang mencatatkan perjumpa­an terindah antara sang kekasih dengan tumpuan hatinya, antara perindu dengan kekasih tercintanya, dan antara umat yang teramat sayang dan rindu kepada nabinya, insan termulia, manusia pilihan, kekasih Tuhan semesta alam, habibuna Muhammad Rasulullah SAW.
Diriwayatkan, seorang waliyullah diberikan kecintaan lebih kepada Allah. Wali itu bernama Syaikh Balwas. Di­nama­kan “Syaikh Balwas” karena kele­bihan cintanya itu kepada Allah. Ia melakukan hijrah ke sebuah gua, yang akhirnya ia dicerca dan dibenci oleh keluarganya, saudaranya, lingkung­annya. Mirip yang dialami oleh Nabi Ayub AS.
Rindunya kepada Rasulullah SAW berapi-api hingga suatu ketika Allah mengilhamkan bacaan shalawat kepada­nya, yang ternyata kelebihannya luar biasa bagi yang mengamalkannya. Syaikh Balwas merenungkan ayat Allah tentang kejadian manusia yang dium­pamakan seekor burung kepada Nabi Ibrahim AS. Burung tersebut dipotong men­jadi beberapa bagian, kemudian di­hidupkan kembali.
“Ya Allah, semua orang adalah faqir (tidak punya). Nabi Khidhir juga faqir. Hanya Engkaulah Yang Mahakaya. Maka aku ingin bertemu dengan Rasul­ullah SAW secara yaqzhah,” ujar Syaikh Balwas suatu ketika.
Maka seluruh apa yang dimilikinya di­berikan kepada orang lain. Termasuk istri­nya, diserahkan kepada pihak kesul­tanan.
“Dan aku ini budak siapa pun,” kata Syaikh Balwas. Maka setiap ada yang meminta bantuannya karena Allah, ia me­nyerahkan dirinya untuk membantu­nya. Perilaku ini mirip dengan apa yang dilakukan oleh Nabi Khidhir AS.
Kemudian, datanglah Rasulullah SAW menjumpai Syaikh Balwas dalam keadaan sadar. Beliau memberikan bacaan shalawat kepadanya. Rasulullah SAW memerintahkan kepada Syaikh Balwas untuk membacanya sebanyak 20.000 kali.
Berkata Syaikh Balwas, “Aku menger­jakannya dalam sehari semalam.” Lalu datanglah seseorang membawa­kan uang 20.000 dinar kepadanya.
Syaikh Balwas hidup pada masa Syaikh Samman Al-Madani. Ia adalah orang yang tidak mengetahui bahwa dirinya adalah seorang wali Allah. Kisah ini termasyhur di kalangan pengikut Tha­riqah Idrisiyah.
Syaikh Yusuf bin Ismail An-Nabhani, dalam kitabnya Afdhal ash-Shalawat ‘ala Sayyid as-Sadat, menukil riwayat dari Syaikh Ahmad Al-Mubarak dalam kitab Al-Ibriz, meriwayatkan ihwal gurunya, Syaikh Al-Ghawts Abdul Aziz Ad-Dab­bagh, yang menceritakan bahwa Nabi Khidhir AS memberinya satu wiridan, pada masa awal perjalanan kewalian­nya, untuk diamalkan setiap hari dengan membacanya sebanyak 7000 kali. Wirid­an itu berupa doa yang berbunyi, “Ya Allah, ya Tuhanku, dengan kedudukan peng­hulu kami, Nabi Muhammad bin Abdullah, kumpulkanlah aku bersama Nabi Muhammad di dunia sebelum di akhirat.”
Syaikh Abdul Aziz kemudian menda­wamkan wirid ini sebagaimana dianjur­kan oleh Nabi Khidhir AS hingga ia ber­temu dengan Nabi SAW dalam keadaan sadar. Dalam pertemuan itu, Syaikh Abdul Aziz menanyakan kepada Nabi SAW ber­bagai permasalahan. Kemudian Nabi pun menjawab berbagai permasalahan yang diajukan tersebut dengan jawaban yang tidak satu pun bertentangan de­ngan penjelasan yang disebutkan oleh para imam, padahal Syaikh Abdul Aziz adalah orang yang ummi, tidak dapat membaca ataupun menulis.
Selain itu, Syaikh Yusuf An-Nabhani mengisahkan juga perjumpaannya de­ngan Syaikh Mahmud Al-Kurdi di makam Nabi SAW. Syaikh Kurdi menyatakan, dirinya selalu berjumpa dengan Nabi SAW dan berdialog dengan beliau. Per­nah juga Syaikh Kurdi datang ke makam Nabi SAW dan dikatakan kepadanya bahwa beliau SAW sedang berkunjung kepada pamannya, Hamzah bin Abdul Muththallib. Syaikh Kurdi juga mencerita­kan berbagai hal yang dialaminya ber­sama Rasulullah SAW selama itu. “Dan aku meyakini hal itu dan membenarkan apa yang diceritakannya itu, karena be­liau termasuk salah satu ulama shadi­qin,” kata Syaikh Yusuf menegaskan.
Dalam kitab yang sama, Syaikh Yusuf juga menukilkan riwayat dari Syaikh Ibnu Hajar Al-Haitami, menghi­kayatkan dari Syaikh Ibnu Abi Jumrah, Syaikh Al-Bazi, Syaikh Al-Yafi, dan yang lainnya dari kalangan tabi‘in dan juga generasi sesudah mereka, bahwa mere­ka telah bertemu Nabi SAW dalam mim­pi dan kemudian bertemu dengan beliau dalam keadaan sadar. Mereka bertanya kepada Nabi SAW tentang perkara-per­kara yang ghaib dan beliau pun menja­wabnya. Dan apa yang terjadi kemudian adalah seperti apa yang dikhabarkan oleh Nabi SAW.
sumber

Tidak ada komentar:

Posting Komentar