HOME | CARI ARTIKEL DI SINI

Sabtu, 05 September 2020

NIRU SETAN

QS Al Mukminun 96-98
ادْفَعْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ السَّيِّئَةَ ۚ نَحْنُ أَعْلَمُ بِمَا يَصِفُونَ
وَقُلْ رَبِّ أَعُوذُ بِكَ مِنْ هَمَزَاتِ الشَّيَاطِينِ
وَأَعُوذُ بِكَ رَبِّ أَنْ يَحْضُرُونِ

*NIRU SETAN* 

Saat ngaji Tafsir Al Ibriz, Jumat (21/8/2020), Pengasuh PP Alfatimiyah Bahrul Ulum Tambakberas, KH Abdul Nashir Fattah sempat menyebutkan sisi positif setan yang bisa ditiru santri. ’’Setan itu pantang menyerah dalam menggoda manusia,’’ tuturnya. 
Setan juga memegang prinsip man jadda wajada, siapa yang bersungguh-sungguh pasti akan berhasil. Makanya kita diajari doa agar dijauhkan dari setan. ’’Ketika mendengar suara azan, setan itu kabur. Tapi setelah azan, kembali lagi,’’ jelasnya.

Diantara doa yang diajarkan agar dihindarkan dari setan yakni doa yang diabadikan dalam QS Almukminun 97-98. Ya Tuhanku aku berlindung kepada Engkau dari bisikan-bisikan setan. Dan aku berlindung pula kepada Engkau ya Tuhanku, dari kedatangan setan kepadaku.

Kiai Nashir menjelaskan, bisikan setan selalu mengajak keburukan. Kedatangan setan juga pasti bertujuan jelek. ’’Walaupun secara lahir seakan-akan baik,’’ tegasnya. Setan juga tidak segan untuk bersumpah menyatakan bahwa bujuk rayunya itu baik. Seperti ditegaskan dalam QS Al A’raf 21. Dan setan bersumpah kepada Adam dan Hawa. "Sesungguhnya saya adalah termasuk orang yang memberi nasehat kepada kamu berdua",

Setan menyuruh Adam dan Hawa memakan buah yang dilarang Allah di surga. Setan berdalih hanya menasehati, karena jika makan buah itu keduanya akan kekal di surga. Ketika Adam dan Hawa menuruti, keduanya pun akhirnya diusir dari surga.

Setan juga ikut diusir dari surga. Dan setan bersumpah untuk menyesatkan manusia. Sebagaimana ditegaskan dalam QS Al A’raf 16. "Karena Engkau telah menghukum saya tersesat, saya benar-benar akan menghalang-halangi manusia dari jalan Engkau yang lurus.’’

Nah, agar kita selamat dari godaan setan, kita dianjurkan sering membaca doa dalam QS Al Mukminun 97-98. Terutama sebelum mengambil air wudu. Sebagaimana dijelaskan Imam Ghozali dalam Bidayatul Hidayah. Karena ada setan yang khusus menggoda kita selama berwudu yakni setan Walhan. Juga ada setan yang khusus mengganggu kita saat salat, namanya Khanzab.

Setan membisiki dan mendatangi kita pasti tujuannya jelek, meskipun seakan-akan baik. Dalam QS Almukminun 96, kita diperintahkan menolak perbuatan buruk dengan yang lebih baik. Seperti dicontohkan Nabi Muhammad SAW. Setiap hari Nabi diludahi orang kafir. Ketika si kafir sakit, Nabi justru menjadi orang pertama yang menjenguk. 

Kita diperintahkan baik kepada anak, istri, tetangga dan semua orang. Ketika istri berbuat jelek, setan membisiki agar kita membalas jelek. Ketika tetangga dan orang lain berbuat buruk, setan juga membisiki agar kita membalas buruk. Bisikan setan itu seperti baik, membalas kejelekan dengan kejelekan. Membalas keburukan dengan keburukan. Namun sebenarnya, bisikan setan itu tetaplah tidak benar. Karena Allah memerintahkan kita untuk berbuat baik kepada semua orang, bahkan termasuk kepada orang yang berbuat jahat sekalipun. Seperti dicontohkan Rasulullah Muhammad sollallahu alaihi wa sallam, para sahabat dan para ulama..

Mugi Allah paring kita saget mengamalkan...

Orang-orang yang Terijabah Do’anya

Orang-orang yang Terijabah Do’anya (edisi Lengkap)
oleh : Cep Hery Syarifuddin

Semua orang pasti suka berdo'a dan senang jika dido'akan. Tapi tidak semua orang itu do'anya cepat diijabah atau dikabulkan. Ada orang-orang istimewa yang permohonannya segera diperkenankan oleh Yang Maha Kuasa. Mengenai siapa saja orang-orang yang do’anya cepat dikabulkan, penjelasannya bisa ditelusuri dari keterangan hadits-hadits Nabi Muhammad saw berikut ini :

1. Orang-orang yang sakit. Orang yang sedang terbaring sakit baik di rumahnya ataupun di rumah sakit, selain kita jenguk, bisa pula dimintai keberkahan do’anya untuk mendo’akan kebaikan bagi kita dan siapa saja. Karena do’a mereka seperti do’anya para malaikat. Nabi Muhammad saw menjelaskan :

اِذَا دَخَلْتَ عَلَى مَرِيْضٍ فَمُرْهُ فَلْيَدْعُ لَكَ فَٳِنَّ دُعَائَهُ كَدُعَاءِ الْمَلٰٓئِكَةِ .
“Apabila engkau mendatangi (menjenguk) orang sakit,, maka mintalah ia untuk mendoakanmu, karena sesungguhnya do’anya itu seperti do’a para malaikat.”(H.R. Ibnu Majah)

2. Musafir, orang yang melakukan perjalanan 
3. Orang tua untuk kemaslahatan anaknya

ثَلَاثُ دَعَوَاتٍ لَا شَكَّ فِيْ اِجَابَتِهَا : دَعْوَةُ الْمَظْلُوْمِ، وَدَعْوَةُ الْمُسَافِرِ وَ دَعْوَةُ الْوَالِدِ عَلَى وَلَدِهِ.
 “Tiga do’a yang tidak diragukan terkabulnya do’a mereka yaitu do’a orang yang teraniaya, do’a musafir, dan do’a orangtua kepada anaknya.”(H.R.at-Timidzy, Abu Dawud,at-Thabrany, al-Bazzar dan Ahmad)

4. Pemimpin yang adil. 
5. Orang yang Berpuasa hingga ia berbuka.
6. Orang yang teraniaya sekalipun pendosa atau kafir
 Rasulullah saw bersabda : 
ثَلَاثٌ لَا تُرَدُّ دَعْوَتُهُمْ : اَلْٳِمَامُ الْعَادِلُ، وَالصَّائِمُ حِيْنَ يُفْطِرُ، وَدَعْوَةُ الْمَظْلُوْمِ .
 “Tiga orang yang do’anya tidak tertiolak yaitu pemimpin yang adil, orang yang berpuasa ketika ia berbuka, , dan do’a orang yang teraniaya.” (H.R.at-Tirmidzy).

7. Do’a seorang Muslim Kepada saudaranya yang saling berjauhan atau yang tiada di hadapan 

Rasulullah s.a.w. bersabda :
دَعَوَاتٌ لَيْسَ بَيْنَهَا وَ بَيْنَ اللهِ حِجَابٌ دَعْوَةُ الْمَظْلُوْمِ وَدَعْوَةُ الْمُسْلِمِ لِأَخِيْهِ بِظَهْرِ الْغَيْبِ
“Ada beberapa do’a yang tidak ada penghalang antara do’a itu dengan ALLAH SWT yaitu do’a orang yang dizholimi/teraniaya, dan do’a seorang Muslim kepada saudaranya.”

Dan sabda beliau lagi :
اِذَا دَعَا الْمُسْلِمُ لِأَخِيْهِ بِظَهْرِ الْغَيْبِ قَالَ الْمَلَكُ آمِيْنَ وَلَكَ بِمِثْلِهِ
“Apabila seorang Muslim berdo’a dengan untuk saudaranya yang Muslim yang berjauhan atau tanpa sepengetahuannya, maka malaikat akan mengaminkan do’anya dan berkata : “Untukmu do’a seperti do’a yang engkau panjatkan untuk saudaramu.”

8. Orang-orang yang saleh.

Dari Ubadah bin ash-Shamit r.a berkata, bahwasanya Rasulullah saw bersabda :

مَا عَلَى الْأَرْضِ مُسْلِمٌ يَدْعُوْ بِدَعْوَةٍ اِلَّا اَتَاهُ اللهُ اِيَّاهَا اَوْ صَرَفَ عَنْهُ مِنَ السُّوْءِ مِثْلَهَا مَالَمْ يَدْعُ بِٳِثْمٍ اَوْ قَطِيْعَةِ رَحِمٍ 

“Tidak ada di muka bumi seorang Muslim (saleh) yang bermohon dengan suatu do’a melainkan ALLAH pasti mengabulkan permohonannya atau menghindarkannya dari keburukan (musibah) yang setimpal kepuasannya bila do’a itu terkabul, selama ia tidak bermohon yang mengandung dosa atau pemutusan silaturrahmi.” (H.R.at-Tirmidzy dan al-Hakim)

9. Anak yang berbakti kepada orang tuanya. Rasulullah saw bersabda :

عَنْ اَبِيْ هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ : قَالَ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : اِنَّ الرَّجُلَ لَتُرْفَعُ دَرَجَتُهُ فِى الْجَنَّةِ فَيَقُوْلُ : أَنَّى لِيْ هٰذَا ؟ فَيُقَالُ : بِاسْتِغْفَارِ وَلَدِكَ لَكَ .

“Dari Abu Hurairah r.a berkata, Rasulullah saw bersabda : Sesungguhnya seseorang (Bapak/Ibu) bakal diangkat derajatnya di surga. Lalu ia bertanya:”Dari mana saya mendaptkan hal ini?” lalu dijawab : “berkat istighfar anakmu kepadamu.” (H.R. Ahmad dan Ibnu Majah).

10. Orang yang bertaubat. 
 Hal ini terekam jelas dalam al-Qur’an ketika Nabi Nuh a.s. mengajak kepada kaumnya untuk beristighfar agar ALLAH Ta’ala berkenan mengabulkan permohonan akan turunnya hujan, harta yang berlimpah, keturunan yang banyak, dan kebun-kebun yang subur, sebagaimana tertuang dalam Q.S. Nuh ayat 10-12 :

فَقُلْتُ اسْتَغْفِرُوْا رَبَّكُمْ اِنَّهٗ كَانَ غَفَّارًا۝ يُّرْسِلِ السَّمَٓاءَ عَلَيْكُمْ مِدْرَارًا۝ وَّيُمْدِدْكُمْ بِأَمْوَالٍ وَّ بَنِيْنَ وَ يَجْعَلْ لَّكُمْ جَنّٰتٍ وَّ يَجْعَلْ لَكُمْ اَنْهٰرًا۝
“Maka aku berkata (kepda mereka) , “mohonlah ampunan kepada Tuhanmu, sungguh, Dia Maha Pengampun, niscaya Dia akan menurunkan hujan yang lebat dari langit kepadamu, dan Dia memperbanyak harta dan anak-anakmu, dan mengadakan kebun-kebun untukmu dan mengadakan sungai-sungai untukmu.” (Q.S. Nuh : 10-12)

11. Orang yang berdo’a ketika selesai membaca do’a adzan. Rasulullah saw bersabda :

مَنْ قَالَ حِيْنَ يُنَادِيْ الْمُنَادِيْ : اَللهُمَّ رَبَّ هٰذِهِ الدَّعْوَةِ الْقَائِمَةِ وَالصَّلَاةِ النَّافِعَةِ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَارْضَ عَنِّيْ رِضًا لَا تَسْخَطُ بَعْدَهُ اِلَّا اسْتَجَابَ اللهُ دَعْوَتَهُ .

“Barangsiapa yang berdo’a ketika muadzin memanggil untuk sholat : ‘Ya ALLAH, Tuhan Pemilik panggilan yang kokoh ini, dan shalat yang bermanfaat, limpahkanlah rahmat atas junjungan kami Nabi Muhammad saw dan curahkanlah keridhoan atasku dengan ridho yang tiada lagi membuatMu murka.’ (lalu ia memohon hajatnya) melainkan ALLAH pasti mengabulkan do’anya.” (H.R. Ahmad dan ath-Thabrany)

12. Orang yang beristighfar untuk mukminin dan mukminat.

مَنِ اسْتَغْفَرَ لِلْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنَاتِ كُلَّ يَوْمٍ سَبْعًا وَ عِشْرِيْنَ مَرَّةً كَانَ مِنَ الَّذِيْنَ يُسْتَجَابُ لَهُمْ وَيَرْزُقُ بِهِمْ اَهْلُ الْأَرْضِ
“Barangsiapa yang membaca istighfar untuk mukminin-mukminat setiap hari sebanyak 27x, maka ia termasuk orang-orang yang dikabulkan do’anya dan akan diberi rezeki oleh penduduk bumi.” (H.R. at-Thabrany).

13. Orang yang membaca kalimat-kalimat yang mempercepat terkabulnya do’a.

 (a) menyertakan kalimat “Ya Dzal jalali wal ikram” dalam do’anya. Sebagaimana tertera dalam sebuah hadits berikut :

وَسَمِعَ النَبِيُّ ص.م رَجُلًا يَقُوْلُ : يَا ذَا الجَلَالِ وَالْٳِكْرَامِ ، فَقَالَ : قَدْ اُسْتُجِيْبَ لَكَ فَسَلْ .
“Dan Nabi saw mendengar seoang berdo’a :” Ya Dzal jalali wal ikram” (Duhai Dzat Pemilik Keagungan dan kemuliaan). Lalu Nabi saw bersabda : Telah dikabulkan do’amu, maka mintalah (kepada ALLAH Pemilik keagugan dan kemuliaan itu).” (H.R, at-Tirmidzy dari Mu’adz bin Jabal r.a)

(b) menyertakan “Ya Arhamar rahimin” dalam do’anya. Nabi Muhammad saw bersabda :

اِنَّ لِلّٰهِ مَلَكًا مُوَكَّلاً بِمَنْ يَقُوْلُ : يَا أَرْحَمَ الرَّاحِمِيْنَ . فَمَنْ قَالَهَا ثَلَاثَ مَرَّاتٍ قَالَ لَهُ الْمَلَكُ : اِنَّ أَرْحَمَ الرَّاحِمِيْنَ قَدْ اَقْبَلَ عَلَيْكَ فَسَلْ.
“Sesungguhnya ALLAH memiliki malaikat yang ditugaskan memperhatikan orang yang berdo’a : “Ya Arhamar roohimiin” (duhai Dzat Yang Maha Pengasih melebihi orang-orang yang mengasihi). Maka barangsiapa yang menyebut kalimat itu sebanyak tiga kali, maka malaikat itu berkata : “Sesungguhnya Dzat Yang Maha Pengasih melebihi orang-orang yang mengasihi telah menghadapmu, maka mintalah hajatmu.” (H.R. al-Hakim dari Abu Umamah r.a)

(c) menyertakan Ismul A’zhom (Nama ALLAH Yang Teragung) yang di antaranya adalah kalimat “Laa ilaaha illaa Anta Subhaanaka innii kuntu minazh zhoolimiin”

اِسْمُ اللهِ الْأَعْظَمُ اَلَّذِيْ اِذَا دُعِيَ بِهِ أَجَابَ ، وَ اِذَا سُئِلَ بِهِ أَعْطَى ﴿ لاَاِلٰهَ اِلاَّ أَنْتَ سُبْحَانَكَ اِنِّيْ كُنْتُ مِنَ الظَّالِمِيْنَ ﴾ 
“Nama ALLAH Yang Maha Agung yang apabila berdo’a dengannya, maka Dia akan mengabulkannya dan apabila Dia dipinta dengannya, maka Dia akan memberikannya, yaitu “LAA ILAAHA ILLAA ANTA SUBHAANAKA INNII KUNTU MINAZH ZHOOLIMIIN. Tiada tuhan selain Engkau, Maha Suci Engkau, sesungguhnya aku termasuk orang yang menganiaya diri sendiri.” (H.R. al-Hakim dari Sa’ad bin Abi Waqqash r.a.) 

(d) Menyertakan kalimat-kalimat “ Laa ilaaha illallah wahdahu laa syariika lahu, lahul mulku walahul hamdu wa Huwa ‘ala kulli syai’in Qodir, laa ilaaha illallah wa laa haula wa laa quwwata illaa billaah” dalam do’anya.

وَ مَنْ دَعَا بِهٰؤُلَاءِ الْكَلِمَاتِ الْخَمْسِ لَمْ يَسْئَلِ اللهَ شَيْئًا اِلَّا أَعْطَاهُ ﴿ لاَاِلٰهَ اِلاَّاللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ، لَهُ الْمُلْكُ وَلَهُ الْحَمْدُ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيْرٌ، لاَاِلٰهَ اِلاَّاللهُ وَ لاَ حَوْلَ وَلاَ قُوَّةَ اِلاَّ بِاللهِ ﴾ 

“Dan barangsiapa yang berdo’a dengan menyertakan kalimat yang lima ini, maka tidaklah ia memohon sesuatu kepada ALLAH, melainkan akan diberinya. Kelima kalimah itu adalah : LAA ILAAHA ILLALLAAH WAHDAHU LAA SYARIIKA LAHU, LAHUL MULKU WA LAHUL HAMDU WAHUWA ‘ALA KULLI SYAI’IN QODIIR, LAAILAAHA ILALLAAH WA LAA HAULA WA LAA QUWWATA ILLAA BILLAAH (tiada tuhan kecuali ALLAH Yang Sendiri tidak ada sekutu baginya. MilikNya segala kerajaan dan segala pujian, Dan Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu. tiada tuhan kecuali ALLAH, tiada daya dan kekuatan bagi kami kecuali dengan pertolongan ALLAH).” (H.R. at-Thabrani)

 (e) Ketika bangun tidur mengucapkan kalimat-kalimat berikut :

وَ مَنْ تَعَرَّى مِنَ اللَّيْلِ اَيْ اِسْتَيْقَظَ فَقَالَ ﴿ لاَاِلٰهَ اِلاَّاللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ، لَهُ الْمُلْكُ وَلَهُ الْحَمْدُ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيْرٌ، سُبْحَانَ اللهِ وَ اَلْحَمْدُ لِلّٰهِ وَ لاَاِلٰهَ اِلاَّ اللهُ وَ اَللهُ اَكْبَرُ وَ لاَ حَوْلَ وَلاَ قُوَّةَ اِلاَّ بِاللهِ اَللهُمَّ اغْفِرْلِيْ﴾ وَ يَدْعُوْ يُسْتَجَابُ لَهُ فَٳِنْ تَوَضَّأَ وَصَلَّى قُبِلَتْ صَلَاتُهُ
“Barangsiapa yang bangun dari tidurnya menguapkan kalimat berikut : LAA ILAAHA ILLALLAAH WAHDAHU LAA SYARIIKALAHU, LAHUL MULKU WA LAHUL HAMDU WA HUWA ‘ALA KULLI SYAI’IN QODIR. SUBHAANALLAH WALHAMDULILLAAH WALAA ILAAHA ILLALLAAH WALLOHU AKBAR WA LAA HAULA WA LAA QUWWATA ILAA BILLAAH.”Dan ia berdo’a, maka ia pasti dikabulkan, lalu jika dia berwudhu dan sholat sunnah, maka diterimalah sholatnya.” (H.R. al-Bukhary)

PANDANGAN HABIB UMAR BIN HAFIDZ TENTANG KHILAFAH

PANDANGAN HABIB UMAR BIN HAFIDZ TENTANG KHILAFAH
(Mohon Baca Hingga Habis)
*********

Terkait Khilafah, Habib Umar bin Hafidz pernah menjelaskan secara panjang yang InsyaAllah mampu mengobati dahaga kaum Muslimin yang ingin mengetahui tentang Khilafah, apa yang terpenting bagi umat Islam dan bagaimana sikap umat Islam?

Berikut penjelasan Beliau:
***

Tentang khilafah, kerancuan pada dua hal yang amat penting: 
Pertama, penyempitan makna khilafah, yang hanya pada pelaksanaan hukum Islam melalui kekuasaan. 
Yang kedua, pandangan atas wajibnya menegakkan khilafah ketika sudah ada pemerintahan di tengah-tengah umat.
 
Mengenai yang pertama, perlu ditegaskan bahwa kata“khilafah” bila dikaitkan dengan agama dan syariat, maknanya tak hanya terbatas pada konteks kekuasaan dengan segala penerapan hukum-hukum publik, sebagaimana makna khilafah secara etimologis yang memang jauh lebih luas.
Al Qur’an menggunakan kata ini, bahkan untuk orang yang berbuat buruk, orang yang menyimpang dari jalan yang benar, juga generasi yangdatang setelah para nabi dan rasul, seperti pada ayat,

فَخَلَفَ مِن بَعْدِهِمْ خَلْفٌ أَضَاعُوا الصَّلَاةَ وَاتَّبَعُوا الشَّهَوَاتِ فَسَوْفَ يَلْقَوْنَ غَيّاً
“Maka datanglah sesudah mereka, pengganti (yang jelek) yang menyia-nyiakan shalat dan mengikuti hawa nafsunya, maka mereka kelak akan menemui kesesatan.” (QS.19 : 59).

Jadi, mereka adalah generasi pengganti yang tinggal di tempat orang-orang sebelumnya, namunmereka tidak mengikuti prinsip dan perilaku generasi sebelumnya. Sehingga, makna khilafah adalah pergantian seseorang terhadap orang lain dalam konteks apapun.

Mengenai kaitan khilafah dengan urusan agama, juga perlu dipahami bahwa khilafah yang diagungkan dan dinyatakan Allah sebagai keistimewaan khusus Nabi Adam dan anak-cucunya, dalam firman-Nya,
إِنِّي جَاعِلٌ فِي الأَرْضِ خَلِيفَةً
“Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi.” (QS.2 : 30), adalah khilafah ruhaniah, keagamaan, dan ketuhanan, bukan sebatas otoritas politik yang mengatur urusan-urusan lahiriah.

Khilafah tersebut terkait erat dengan tugas mengemban amanah sesuai kapasitas dan kemampuan seseorang, dalam konteks menegakkan kebenaran, yaitu syari’at yang telah ditetapkan Allah pada makhluk-Nya. Inilah khilafah yang disinggung dalam Al-Qur-an, ketika meletakkan nenek moyang kita, Nabi Adam AS ke bumi,

فَإِمَّا يَأْتِيَنَّكُم مِّنِّي هُدًى فَمَنِ اتَّبَعَ هُدَايَ فَلَا يَضِلُّ وَلَا يَشْقَى
“Maka jika datang kepadamu petunjuk dari-Ku, lalu barangsiapa mengikuti petunjuk-Ku, ia tak akan tersesat dan tidak akan celaka.”(QS.20 : 123).
Mengamalkan tuntutan Allah, melaksanakan perintah, dan menghindari larangan-Nya, itulah arti khilafah yang telah ditugaskan Allah kepada Nabi Adam. 

Nabi Adam turun padahal di bumi belum ada bangsa apapun yang bisa menjadi obyek kekuasaan. Ia hanya disertai Ibu Hawa. Lalu, mulai lahirlah putra-putra dari keluarga Adam. Ia menjalani posisinya sebagai orang pertama yang memegang khilafah sebelum adanya bentuk pemerintahan dan kekuasaan publik. 

Sejarah terus berlangsung dalam wilayah keluarga itu, yaitu Adam dan putra-putranya. Merekalah yang menghuni bumi. Lalu keturunannya mulai banyak. Nabi Syits, putra AdamAS, menggantikannya memegang tampuk khilafah. Ia menerima kenabian dan amanat untuk melaksanakan ikrar manusia kepada Allah.

Khilafah merupakan tugas masing-masing diri kita. Tak ada alasan bagi siapapun untuk menganggap remeh hal ini, hingga melalaikan dan meninggalkannya lantaran ketiadaansembol-simbol fisik khilafah (kekuasaan).

Melepas Khilafah
Jika dikaitkan dengan salah satu jenis kekhilafahan agung Nabi Muhammad SAW, khilafah adalah terwujudnya penerapan hukum secara umum, karena kekuasaan dipegang oleh orang-orang jujur, lurus, dan mendapat petunjuk. 

Beliau kabarkan, khilafah ini hanya berlangsung 30 tahun terhitung sejak beliau wafat. Ini salah satu mukjizat yang menunjukkan kebenaran beliau sebagai Nabi.
Rasulullah SAW menyebut batas waktu. Tatkala masa 30 tahun itu telah usai dan khilafah semacam ini telah hilang, beliau tidak memberi perintah, “Memberontaklah kepada para penguasa, perbaiki berbagai masalah, berjuanglah untuk mengganti mereka dengan orang-orang yang mirip dengan masa 30 tahun itu!” Rasulullah SAW tidak memerintahkan itu. 

Bahkan, meski dalam haditsnya beliau memberi isyarat bahwa cengkeraman kerajaan akan berlangsung lama. Dalam sebagian riwayat, beliau menyebutnya adhudh (kekuasaan yang suka menggigit).
Dalam kitab Musnad-nya Imam Ahmad, juga dalam Al-Mustadrak ‘ala Ash-Shahihaian karya Al-Hakim, disebutkan, Rasulullah SAW bersabda, “Khilafah sepeninggalku 30 tahun, kemudian menjadi kerajaan.” (HR.Ahmad)

Mari kita cermati sabda beliau yang menyebutkan secara jelas periode khilafah ini. Ternyata, Ali KWH dibunuh pada bulan Ramadhan, sementara Rasulullah wafat pada bulan Rabi’ul Awwal. Untuk sampai 30 tahun, masih ada jeda enam bulan. Masa enam bulan inilah masa kepemimpinan Al-Hasan bin ‘Ali RA, cucunda Nabi, hingga ia mundur dari khilafah pada bulan Rabi’ul Awwal, persis di akhir masa 30 tahun sebagaimana disebutkan Rasulullah SAW. Lagi-lagi ini merupakan salah satu tanda kenabian, mukjizat agung Rasulullah Muhammad SAW, sekaligus pemberitahuan beliau mengenai hal-hal rahasia (ghaib) yang beliau dapat dari Allah SWT.

Di Al-Mustadrak juga ada riwayat yang dinyatakan shahih oleh Adz-Dzahabi : Setelah Al-Hasan mundur sebagai khalifah, ada orang berkata kepadanya, “Orang-orang berkata bahwa Anda menginginkan khilafah.”
Al-Hasan menoleh kepada orang itu. Ia berkata, “Aku meninggalkan jabatan khalifah pada saat orang-orang kuat berada di tanganku. Mereka mengikuti perintahku, siap memerangi orang yang aku perangi dan berdamai dengan orang yang berdamai denganku. (Aku meninggalkan khilafah) karena untuk mencari ridha Tuhanku dan menghindarkan pertumpahan darah sesama muslimin. Lalu, apakah aku akan berupaya mendapatkan khilafah dengan keputus-asaan orang-orang Hijaz. Pergilah, aku tidak menginginkan khilafah itu.” Kisah ini memiliki sanad riwayat yang shahih melalui mata rantai para perawi yang dipercaya oleh Al-Bukhari dan Muslim.

Dalam kisah ini terdapat sebuah penjelasan bahwa mundur dari khalifah pada saat terjadinya perpecahan adalah khalifah sejati. Khalifah hakiki yang diajarkan Nabi ini bersemayam dengan sempurna dalam diri Al-Hasan bin ‘Ali. Dengan menyerahkan kekuasaan lahiriah, tidak berarti warisan Nabi menjadi berkurang pada dirinya, tidak berarti ada kekurangan pada posisinya sebagai pengganti kakeknya, Muhammad SAW. Justru dengan demikian, Al-Hasan menampakkan ciri khas yang paling agung dari kekhilafahan Rasulullah SAW, yaitu dalam wilayah ilmu, taqwa, pekerti, belas kasih, dan perhatian terhadap umat.

Karena itu, sangatlah layak apa yang disabdakan Rasulullah SAW mengenai Sayyidina Hasan, “Sungguh anakku (cucuku) ini adalah seorang pemimpin. Allah akan mendamaikan dua kubu besar kaum muslimin dengan perantaranya.” (HR.Bukhari)

Pandangan Nabawiyyah
Dalam hadits tadi dijelaskan bahwa Nabi mengabarkan, “Masa setelah itu kekuasaan berada di tangan para penguasa yang berbuat hal-hal yang kalian (para sahabat) ingkari. Kalian melihat mereka tidak teguh dalam mengikuti ajaran Islam.”
Mereka (para sahabat) bertanya, “Apa yang engkau (ya Rasulullah) perintahkan kepada kami? Haruskah kami membuat kekhalifahan baru, pemerintahan lain, dan berjuang untuk menyingkirkan mereka?”
Nabi SAW bersabda, “Kalian harus patuh dan taat (kepada pemimpin kalian).” (HR.Bukhari dan Ahmad)

Siapa yang menegaskan hal ini?
Ini bukan gagasan kelompok-kelompok tertentu dalam Islam. Ini adalah arahan dari pemegang kenabian dan kerasulan, seorang yang menerima wahyu dari Allah SWT.

Lalu, sampai kapan kami harus patuh pada pemimpin?
“Sampai yang menjadi pemimpin kalian adalah orang yang jelas-jelas kafir, sudah tidak mungkin ditakwil bahwa dia adalah seorang muslim. Atau, orang yang memusuhi Allah dan Rasul-Nya, mengingkari ajaran-ajaran pokok agama yang sudah pasti. Secara terang-terangan memusuhi agama dan melanggarnya".

Dalam sebuah hadits disebutkan, “Hingga kalian melihat kekufuran yang sangat jelas.” (HR.Bukhari, Muslim, Ahmad, dan Baihaqi). 
Dalam riwayat yang lain, “Selagi mereka masih menegakkan shalat di tengah-tengah kalian.” (HR.Muslim, Ad-Darimi, dan Baihaqi). 
Pada riwayat lainnya, “Berikanlah kepada mereka apa yang menjadi hak mereka. Mintalah kepada Allah apa yang menjadi hak kalian (karena mereka sudah tidak berlaku adil kepada kalian dan tidak memberikan hak-hak kalian)”. (HR.Bukhari, Muslim, Ahmad, Tirmidzi)
Batasan-batasan itulah yang Rasulullah sampaikan kepada kita.

Memahami Realitas Yang Berbeda
Dalam sebuah hadits, Rasulullah SAW berdo’a, “Ya Allah, curahkanlah rahmat kepada parakhalifah/penggantiku.”
Ketika beliau ditanya, siapa para khalifah itu, beliau tidak menggunakan pengertian khilafah seperti saat beliau bersabda “Khilafah setelahku berlangsung selama 30 tahun”, tapi beliau menggunakan pengertian lain tentang khilafah, yaitu khilafah keagamaan. Beliau bersabda, “Orang-orang yang hidup sepeninggalku, mereka meriwayatkan hadits-haditku dan mengajarkannya kepada manusia.”

Beliau menyatakan,orang-orang yang memiliki perhatian tinggi terhadap sunnah beliau dan mengajarkannya kepada orang lain adalah para khalifah para penerus beliau.
Hal itu diperkuat oleh hadits tentang ulama yang menjadi pewaris para nabi. Juga, sebagaimana disebutkan dalam kitab-kitab tafsir bahwa isi dari lafal Ulul Amri yang disebutkan di sebagian ayat adalah para ulama, orang-orang yang dianugerahi ilmu syari’at dan menjadi pemikul amanat ilmu syari’at tersebut. Misalnya, ayat,
وَلَوْ رَدُّوهُ إِلَى الرَّسُولِ وَإِلَى أُوْلِي الأَمْرِ مِنْهُمْ لَعَلِمَهُ الَّذِينَ يَسْتَنبِطُونَهُ مِنْهُمْ
“…dan kalau mereka menyerahkannya kepada rasul dan ulil amri diantara mereka, tentulah orang-orang yang ingin mengetahui kebenarannya (akan dapat)mengetahuinya dari mereka (rasul dan ulil amri).” (QS. 4 : 83). Menurut pendapatpara mufassir, yang dimaksud ulil-amri disini adalah ulama. Sebagaimana jugadalam firman Allah.
أَطِيعُواْ اللّهَ وَأَطِيعُواْ الرَّسُولَ وَأُوْلِي الأَمْرِ مِنكُمْ
“…taatilah Allah dan taatilah Rasul, dan Ulil-Maridiantara kalian.” (QS.4 : 59)
Sementara, mengenai kekuasaan lahiriah, hukumnya dalam syari’at adalah , “Bila mereka memerintah dengan baik, jadi baik bagi mereka dan bagi kalian. Jika mereka memerintah dengan buruk, jadi baik bagi kalian dan jadi buruk bagi mereka.” (HR.Thabrani)

Jadi, dari sunnah Rasulullah SAW, kita bisa melakukan pemilahan terhadap dua sikap:
Pertama, meninggalkan khilafah untuk menjaga kemaslahatan kaum muslimin karena memperhatikan kondisi nyata mereka. 
Kedua, menolak untuk meninggalkan jabatan khalifah hanya karena tuntutan dari orang-orang bodoh atau menyerahkannya kepada orang yang tidak layak, dengan catatan hal itu tidak menimbulkan kekacauan. Yang kedua inilah yang disabdakan Rasulullah SAW kepada Sayyidina Utsman.

Perhatikanlah, Rasulullah SAW memuji cucunya, Al-Hasan, karena rela melepas kekhilafahan lahiriah demi kebaikan kaum muslimin. Di sisi lain, beliau bersabda kepada Sayyidina Utsman RA, “Mereka hendak melepas baju yang dipakaian Allah kepadamu. Jangan turuti mereka hingga engkau menyusulku.” (HR.Thabrani)

Ada beberapa orang yang datang kepada Utsman RA, memintanya untuk mundur dari khalifah. Ternyata, mereka bukan orang yang layak untuk menggantikan beliau. Sementara itu, kekacauan bukan ditimbulkan karena sikap Utsman RA mempertahankan khalifah. Kekacauan justru timbul jika orang-orang seperti mereka menerima khalifah. Mereka akan mempermainkannya.
Latar belakang dan realitasnya berbeda. Maka, dalam, kondisi seperti itu, Rasulullah memberikan arahan kepada Utsman RA agar tidak menuruti kemauan mereka hingga akhirnya mereka membunuhnya. Ia mati syahid di jalan Allah sebagai orang yang berdakwah. Ia terbunuh dalam keadaan membaca Al Qur-an dan tetesan darahnya yang pertama mengenai ayat 

فَسَيَكْفِيكَهُمُ اللّهُ وَهُوَ السَّمِيعُ الْعَلِيمُ

“Maka Allah akan menjaga engkau dari mereka, dan Dialah yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS.2 : 137). Sementara do’a terakhir yang terdengar dari lisannya adalah, “Ya Allah, persatukan umat Muhammad. Ya Allah, persatukanlah umat Muhammad.” Kisah ini dituturkan Al-Ghazali dalam Al-Ihya’ 4/479).

Beberapa orang sahabat dan tabi’in, bila teringat kejadian ini, berkata, “Utsman, semoga Allah merahmatimu. Dalam kondisi genting, perhatianmu masih tertuju pada umat Muhammad. Seandainya engkau berdoa agar mereka tidak bersatu, niscaya mereka tak akan pernah bersatu selamanya.”

Ternyata, didetik-detik ancaman mati dan pembunuhan, yang ada dalam pikirannya adalah umat. Ia memohon kepada Allah agar mempersatukan umat sepeninggalnya. Ia berdoa “Ya Allah, persatukan umat Muhammad” sampai dua kali. Itu sebabnya, jangan sampai urusan kekuasaan menjadi kekacauan atau mempermainkan agama.

Khilafah Bagi Setiap Muslim
Kita juga tidak bisa sekadar melaksanakan fungsi khalifah hanya yang terkait pada diri kita saja. Setiap kita memiliki amanat menjadi penerus atau khalifah, dalam mata, telinga, lidah, kelamin, perut, tangan, kaki, dan hatinya. Maka, laksanakanlah kewajiban khalifah dari Rasulullah. Semua ini adalah hal yang harus engkau pelihara. Engkau pemimpin semua ini, semua urusan-urusannya diserahkan kepadamu. Maka, jadilah penerus yang baik dari Rasulullah dalam memelihara anggota tubuhmu agar selalu mematuhi syari’at dan menerapkan hukum Allah.

Di wilayah lain, engkau memiliki kekuasaan dalam hal-hal yang terkait dengan urusan keluarga, teman, dan tetangga. Juga, dalam hal yang terkait dengan orang yang mendengarkan nasihat darimu, menerima saran dan arahanmu, baik orang dekatmu atau bukan. Laksanakan kewajiban khilafah dalam semua itu.

Menegakkan syariat, dalam bentuk apapun, merupakan khilafah dari Allah dan Rasul-Nya, dalam arti yang umum. Sedangkan khilafah dalam arti khusus adalah khilafah yang dalam hadits Rasulullah SAW, yang dinyatakan berlangsung selama 30 tahun setelah wafatnya beliau. Setelah itu, kerajaan yang menggigit. Setelah itu, kekuasaan yang diktator. Inilah yang terjadi pada mayoritas penguasa saat itu. Lalu pada akhirnya khilafah kembali seperti ajaran Rasulullah SAW. Ini sesuatu yang akan terjadi, dan telah diberitakan Rasulullah SAW.
Kabar tentang khilafah ini jangan dipertentangkan dengan perintah-perintah Rasulullah terhadap umatnya: bagaimana mengatur, apa yang harus dilakukan, bagaimana seharusnya menghadapi berbagai persoalan yang terjadi, menghadapi para penguasa, menghadapi rakyat, dan bagaimana bersikap terhadap pihak-pihak yang memiliki hubungan dekat ataupun jauh.

Betapapun, jika misalnya ada kesempatan bagi seseorang untuk membela agama Allah, dalam bentuk apapun, dan dalam sisi kehidupan apapun, ia memiliki tanggung jawab besar untuk melaksanakan kewajiban itu, namun apa yang ia lakukan itu ternyata menimbulkan efek negatif yang lebih besar atau membawa badai besar di tengah-tengah kaum muslimin, tinggalkan dan jauhi hal itu. Sebab, untuk bisa lebih mempersatukan umat Islam diperlukan langkah-langkah yang lebih lembut dan berdasarkan kasih sayang terhadap umat.
Inilah teladan yang diberikan oleh Rasulullah SAW. Ini pula yang dijalani oleh para pendahulu umat ini.

Insan-Insan Khalifah Terbaik
Al-Hasan menginginkan perdamaian umat. Ia juga rindu bertemu kakeknya, Rasulullah SAW. Maka, tidak ada yang perlu ia cari dengan menggunakan kekuasaan dunia, atau dengan tetap hidup di dunia. Hari-hari berlalu, dan ia tahu bahwa ia diracun, yang mengantarkannya pada kesyahidan.

Khilafah ideal berlalu saat Al-Hasan menyerahkan kekuasaan kepada Muawiyah bin Abi Sufyan. Ia meninggalkan khilafah lahiriah ini hingga wafat. Ia memilih menjadi khalifah Rasulullah SAW dalam menyampaikan kebenaran, memberikan bimbingan, mengajar, memberi petunjuk, berbudi pekerti luhur, bersikap belas kasih dan sifat-sifat mulia lain yang telah dilekatkan oleh Allah dalam dirinya. Inilah buah dari didikan Rasulullah, Muhammad SAW.

Kalau kita bercermin pada yang dilakukan adiknya, Al-Husain, setelah itu, mungkin akan ada yang bertanya: Bagaimana bisa Al-Husain keluar (dari Makkah) untuk memenuhi permintaan penduduk Irak (menghadapi “Khalifah” Yazid)?

Beberapa hal yang harus dipahami mengenai keberangkatannya ke Irak. Diantaranya adalah:
Pertama, adanya surat ajakan yang dikirim penduduk Irak dan itu peluang untuk mendirikan sebuah pemerintahan yang sesuai dengan syari’at. Ternyata mereka menipunya, tidak mempercayainya, mengkhianatinya, dan meninggalkannya. Namun, ia rela.
Kedua, ia sudah memperkirakan pengkhianatan ini. Namun, mati syahid tampak di depan mata. Sepeninggal kakaknya, Al-Hasan, giliran ia yang menyimpan rindu bertemu kakeknya.
Al-Husain membuat keputusan tegas demi kebaikan umat. Juga, agar mereka tahu bahwa ia tak mau tertipu kekuasaan lahiriah, namun juga tak ingin melampaui batas dalam memahami wajibnya patuh kepada penguasa. Ia ingin mengajari umat agar tidak memiliki dugaan keliru bahwa jika kita sudah diperintah untuk patuh kepada penguasa, kendatipun kita tahu bahwa mereka tidak baik, berarti kita harus meyakini bahwa para penguasa itu adalah orang-orang yang benar dan menjadi landasan dalam berbagai hal. Yang bisa dijadikan landasan adalah ilmu syari’at dan agama Allah.

Jadi, gerakan Al-Husain adalah untuk menjelaskan prinsip ini dengan cara yang sempurna. Dan, telah kami singgung dalam pembahasan tadi, ia memang hendak menerjunkan dirinya ke dalam kesyahidan. Ia begitu rindu untuk bertemu kakeknya.
Demi Allah, kekeliruan terjadi kalau yang melakukan adalah orang-orang seperti kita. Sayyidina Husain tidak sama dengan kita. Orang-orang yang dididik di bawah penjagaan dan pengawasan Rasulullah, mereka adalah teladan bagi umat manusia. Mereka contoh atas kesesuaian perkataan dan tindakan yang benar.

Maka, Sayyidina Husain memberikan penjelasan mengenai perbedaan berbagai hal tersebut, dengan cara maju dan mengorbankan nyawanya untuk menyambut janji Allah kepada Rasul-Nya bahwa suatu saat sekian banyak keluarganya gugur sebagai syahid dalam sehari. Hal itu menjadi tragedi yang sangat pedih dalam sejarah umat Muhammad SAW.

Khilafah agung Nabawiyah yang bukan sekadar kekuasaan lahiriah itu kemudian digantikan oleh Ali Zainal Abidin. Ia benar-benar hiasan indah bagi para ahli ibadah. Perjalanan hidupnya penuh dengan fenomena ibadah. Ia banyak melakukan shalat. Dua pipinya bergaris hitam karena aliran air mata, gambaran rasa takut yang mendalam kepada Allah. Lalu, apa yang ia lakukan? Apakah ia berjuang untuk merengkuh kekuasaan? Apa ia mengajak kaum muslimin untuk membai’atnya? Apa ia membuat rencana kudeta terhadap penguasa yang ada?

Semua ini tidak terjadi pada Ali Zainal Abidin.
Apakah ia tidak tahu apa-apa tentang agama? Aku bersaksi bahwa ia termasuk orang yang paling alim mengenai agama. Demi Allah, ia bukan orang bodoh. Dimasanya, ia adalah pewaris agung bagi Rasulullah SAW.

Namun demikian, ia menyibukkan hidupnya dengan memperbanyak shalat, membaca Al-Qur-an, menangis, bersedekah, dan berbuat kebajikan kepada orang lain. Ia sama sekali tak pernah menyinggung urusan kekuasaan. Ia juga tidak pernah memaki-maki, melaknat, dan mengucapkan pernyataan-pernyataan buruk kepada para pembunuh ayah dan saudara-saudaranya.

Inilah khalifah sejati. Inilah yang dilakukan generasi terbaik umat ini. Mereka mengikuti jejak Rasulullah SAW, jejak Ahlul Bayt, Sahabat, Tabi’in, dan para pengikut mereka.

Setelah itu, putranya, Muhammad Al-Baqir. Setelah itu, putra Al-Baqir, yaitu Ja’far Ash-Shadiq. Mereka semua meneladani ayah-ayahnya dalam kemuliaan dan jalan ini.

Pada masa itu mereka diikuti oleh para pemuka tabi’in. Bahkan, saat Al-Hasan menyerahkan kekhilafahan lahiriah, masih banyak pemuka sahabat. Apa pandangan mereka? Adakah mereka menyatakan “Kami bersama Anda, kami berperang bersama Anda untuk Allah. Sekarang Anda meninggalkan kami dan menyerahkan khilafah kepada orang lain?” Tidak. Al-Hasan patuh (pada tuntunan agama), merekapun ikut patuh.

Tibalah masa tabi’in. Saat itu, kekuasaan dipegang oleh Yazid bin Muawiyah bin Abi Sufyan. Ia dikenal fasik dan buruk. Saat itu, ada Hasan Al-Bashri, Said bin Al-Musayyib, juga para tabi’in senior. Ada Ali ibnul Husain, juga putra-putra Al-Hasan. Adakah diantara mereka yang membuat kekacauan? Atau melawan penguasa, atau melakukan sesuatu yang tidak sesuai dengan teladan para penghulu dan ajaran Rasulullah SAW?

Khilafah berlanjut. Tibalah masa para Imam : Abu Hanifah, Malik bin Anas, Asy-Syafi’i, Ahmad binHanbal. Apa mereka semua hidup di tengah-tengah kekhilafahan yang lurus atau hidup di tengah-tengah kekuasaan kerajaan? Apakah mereka memiliki paham bahwa mereka harus membuat rencana untuk menyingkirkan orang-orang yang memiliki kekuasaan itu?
Mereka sibuk menjaga Islam, menjaga syari’at di tengah-tangah umat, dengan segala kesungguhan dan daya upaya. Mereka mengorbankan waktu, jiwa-raga, dan harta untuk menjelaskan hakikat syari’at kepada umat manusia serta membawa mereka untuk bisa mengamalkannya. Mereka adalah khalifah terbaik dari Rasulullah SAW dan saat itu terdapat begitu banyak tokoh ulama dari kalangan tabi’in dan tabi’ut tabi’in.

Peran Khilafah Para Nabi
Bagitulah khilafah di tengah-tengah mereka. Bahkan, demikian pula yang kita lihat dalam Al Qur-an dan dijalani para nabi di masa-masa lampau.

Apakah Nuh AS seorang khalifah di atas muka bumi ini? Ya. Ia khalifah selama 950 tahun. Lalu apakah kekuasaan berada di tangannya atau di tangan orang-orang kafir? Selama itu pula ternyata kekuasaan bukan berada ditangannya, tapi tangan orang-orang kafir.

Lalu, apakah tugas khalifah dari Allah hidup atau mati? Tegak di tangan siapa, di tangan orang-orang kafir?
Tidak, khilafah tegak berada di tangan Nabi Nuh AS dan pengikutnya. Padahal yang beriman kepadanya hanya segelintir orang. Namun, segelintir orang ini memiliki kedudukan dan peran yang besar, hingga Allah memuliakan mereka dengan memusnahkan seluruh umat manusia kecuali yang berada di kapal Nuh. Itu adalah balasan atas kesabaran dan ketabahannya selama 950 tahun melaksanakan tugas khilafah dengan peran yang sangat baik.

Nabi Musa memikul tugas khilafah dari Allah. Ia mendatangi Fir’aun, dan kekuasaan berada di tangan Fir’aun. Hari pertama, kedua, dan ketiga, muncullah mukjizat-mukjizatnya. Para tukang sihir pun beriman. Mereka menjadi pembela agama Allah dan pasukan Allah. Mereka juga memikul khilafah dari Allah. Namun,kekuasaan tetap berada di tangan Fir’aun, sampai datang waktunya kemudian ketika Allah menghancurkan Fir’aun dan bala tentaranya.

Sementara itu, pada kisah khilafah Sayyidina Isa, Bani Israil datang hendak membunuhnya. Allah pun mengangkat Nabi Isa ke langit.
Apakah Nabi Isa seorang khalifah Allah? Demi Allah, ia adalah seorang khalifah Allah. Bahkan, termasuk Rasul Ulul ‘Azmi, termasuk utusan Allah yang istimewa.

Begitu pula Sayyidina Ibrahim, ia berada di bawah kekuasaan Namrudz beberapa kali. Sampai ketika mukjizatnya muncul, ia keluar dari kobaran api yang menjadi dingin dan menjadi keselamatan baginya. Waktu itu, kekuasaan masih berada di tangan Namrudz, dan Nabi Ibrahim berada di bawah kekuasaan itu. Ia tidak memikirkan soal kulit permukaan kekuasaan ini hingga Allah SWT menolongnya.

Inilah poin terpenting dalam tema khilafah, juga pandangan para salaf mengenai hal itu. Sekian banyak nabi pun melewati keadaan ini.

Begitulah pengertian khilafah. Pengertian yang memiliki kaitan erat dengan kewajiban untuk melaksanakan syari’at dalam diri kita, keluarga kita, dan anak-anak kita. Demikian itu, agar kita tidak melanggar prinsip umum dan prinsip khusus khilafah, juga tidak menghalangi sebab-sebab datangnya pertolongan Allah dengan hal-hal yang diembuskan musuh-musuh Allah yang ingin merusak moral kita. Mereka memasukkan budaya-budaya buruk yang bertentangan dengan syari’at ke tengah-tengah kita.

Semoga Allah menolak keburukan orang-orang kafir dan orang-orang jahat dari kita. Semoga Allah menurunkan berkah kepada kita dan kepada para ulama disini, juga ulama-ulama lain di Indonesia dan di negara-negara lainnya. Yakni, orang-orang yang senantiasa gigih menjaga agama dan syari’at ini dengan upaya yang sempurna.
Dan, hanya Allah-lah yang menganugerahi taufiq dan ampunan.
******

Pandangan utuh perihal tema khilafah diulas Habib Umar bin Hafizh dengan amat gamblang. Diantara yang dapat kita petik dari ulasan di atas adalah bahwa tak lagi terselenggaranya kekhilafahan yang lurus setelah 30 tahun pasca-wafatnya Rasulullah SAW adalah berita yang disampaikan Rasulullah SAW sendiri. Beliau tahu persis bahwa itu akan terjadi, tapi apa yang beliau pesankan kemudian? Kepatuhan pada penguasa, sampai penguasa itu sudah tak lagi dapat ditakwil akan kekufurannya.
Sekalipun makna dari redaksi-redaksi kalimat yang terkait dengan kekhilafahan dalam karya-karya ulama salaf kini marak diperdebatkan, nyatanya para ulama salaf itu sendiri tak satupun yang menggalang gerakan khusus untuk mendirikan khilafah yang mencontoh kekhilafahan yang lurus, Khulafa’ Rasyidun. Kesadaran historis kita pun digugah, “Apakah mereka semua hidup ditengah-tengah kekhilafahan yang lurus ataukah di tengah-tengah kekuasaan kerajaan? Apakah mereka memiliki paham bahwa harus membuat rencana untuk menyingkirkan orang-orang yang memiliki kekuasaan itu?”

Melihat kenyataan sejarah di satu sisi dan dengan asumsi bahwa makna dari redaksi terkait kekhilafahan itu sesuai dengan apa yang disuarakan paradai penyokong khilafah Islamiyah kini pada sisi lainnya, pertanyaan selanjutnya yang pantas diajukan adalah apakah seluruh ulama dari generasi ke generasi itu hanya orang-orang yang pandai berkata-kata lewat karya-karyanya dan enggan berusaha keras demi tegaknya khilafah, sesuatu yang konon termasuk ahammul wajibat (kewajiban yang terpenting)? 
Tentu bukan demikian.Mereka tak membuat sebuah gerakan khusus karena mereka paham betul bahwa bukan itu yang dipesankan Rasulullah SAW terkait masalah ini.

Saat berbuat, terutama pada kaum muda, seseorang biasanya ingin cepat melihat hasil. Dakwah menyebarkan doktrin wajibnya mendirikan khilafah Islamiyah boleh jadi memiliki latar belakang psikologis semacam itu. Pemicunya, akumulasi ketidak percayaan terhadap penyelesaian berbagai problematik sosial, ekonomi, politik, budaya yang tak kunjung selesai. Dalam kondisi demikian, ide khilafah Islamiyah datang dengan senyum menggoda diselingi pekik takbir yang menggelora, lalu mulai merayu umat dengan tawaran sebagai satu-satunya solusi umat:bila khilafah berdiri, insya Allah semua urusan beres. Siapa tak tergiur?

Pola dakwah yang berorientasi pada massa memang biasanya lebih banyak mengandalkan slogan daripada kandungan. Sebab barangkali karena aspek ini lebih mudah dikalkulasi dan didata. Disinilah pentingnya penyadaran bahwa dalam berdakwah, selain bekal keilmuan, kesungguhan, kesinambungan, yang terpenting adalah keikhlasan, sebagai bekal seseorang meraih keridhaan di sisi Allah SWT. Keridhaan Allah inilah ukuran keberhasilan dakwah seseorang, bukan yanglainnya. Rasulullah SAW bersabda : “Sesungguhnya Allah SWT tidak melihat kepada fisikmu dan hartamu, tetapi Allah melihat kepada amal dan hatimu.” (HR. IbnuMajah).

Dalam isi mauizhahnya, Habib Umar sempat menyinggung, “Lalu pada akhirnya khilafah kembali seperti ajaran Rasulullah SAW. Ini sesuatu yang akan terjadi, dan telah diberitahukan Rasulullah SAW.” Ia tak memperjelas lebih jauh maksud “akan” disitu, apakah relatif terhadap masa dirinya ataukah masa Rasulullah. Tampak disini bahwa ia pun tak terjebak dalam perdebatan tentang apakah khilafah yang dikatakan akan kembali seperti ajaran Rasulullah SAW ini adalah pada masa Sayyidina Umar bin Abdul Aziz ataukah pada masa menjelang hari kiamat kelak. Yang ingin Habib Umar tekankan, sebagaimana yang ia katakan selanjutnya, bahwa betapapun, “Kabar tentang khilafah ini tidak bertentangan dengan perintah-perintah Rasulullah terhadap umatnya…”

Pelajaran dari umat-umat terdahulu menunjukkan bahwa, karena kesungguhan mereka mengikuti petunjuk syari’atnya dan melaksanakan tugas khilafah ruhaniyah yang diemban setiap manusia dalam lingkupnya masing-masing dan menjadi penjaga-penjaga syari’at dan ilmu pengetahuan yang setia, pada gilirannya datanglah kemuliaan dan pertolongan dari sisi Allah SWT. Contohnya, Nabi Nuh pun hanya mendapat pengikut segelintir orang sebagai hasil dari dakwahnya selama 950 tahun.
Serangkaian tulisan ini menunjukkan bahwa para ulama kita, dari kalangan Ahlus Sunnah wal Jama’ah, seperti kalangan Alawiyyin, Nahdhiyyin, dan unsur-unsurumat lainnya di lingkungan Aswaja, pun memahami tema khilafah dengan pandangan seperti ini. Intinya, terus berbuat dan berbuat hal yang nyata di tengah masyarakat secara ikhlas, lillahi Ta’ala. Bagi mereka, yang penting adalah mengislamkan masyarakatnya, bukan institusi kenegaraannya.
وَلَوْ أَنَّ أَهْلَ الْقُرَى آمَنُواْ وَاتَّقَواْ لَفَتَحْنَا عَلَيْهِم بَرَكَاتٍ مِّنَ السَّمَاءِ وَالأَرْضِ
“Dan sekiranya penduduk negeri beriman dan bertaqwa, pasti Kami (Allah)akan melimpahkan keberkahan kepada mereka dari langit dan bumi.” (QS. Al-A’raf: 96)
*********

Judul asli tulisan ini “Khilafah Yang Tak Butuh Singgasana “Khalifah”. 
Disarikan dari Mau’izhah Habib ‘Umar bin Hafizh di depan Majelis Muwashalah Bayna Al-‘Ulama wa Al-Muslimin di Puncak, Bogor, tahun 2009 | Majalah Alkisah, Tahun X/ No.17/ 20 Agustus – 2 September 2012, hal. 45-57.PANDANGAN HABIB UMAR BIN HAFIDZ TENTANG KHILAFAH
(Mohon Baca Hingga Habis)