HOME | CARI ARTIKEL DI SINI

Minggu, 31 Mei 2020

Hukum Batalkan Puasa Syawal saat Silaturahim Lebaran

Hendak tetap puasa sedang bertamu dan ditawari makan, mau membatalkan sangat disayangkan. Lalu sebaiknya bagaimana sikap ideal yang terbaik untuk diambil, tetap berpuasa atau membatalkannya? 
Dalam kondisi seperti ini, menarik sekali pilihan sikap yang diteladankan oleh Nabi Muhammad SAW, yaitu ketika ada sebagian sahabat yang bersikukuh puasa sunnah di tengah jamuan makanan ia bersabda:
   يَتَكَلَّفُ لَكَ أَخُوكَ الْمُسْلِمُ وَتَقُولُ إنِّي صَائِمٌ، أَفْطِرْ ثُمَّ اقْضِ يَوْمًا مَكَانَهُ
Artinya, “Saudara Muslimmu sudah repot-repot (menyediakan makanan) dan kamu berkata, ‘Saya sedang berpuasa?’ Batalkanlah puasamu dan qadha’lah pada hari lain sebagai gantinya,” (HR Ad-Daruquthni dan Al-Baihaqi). 
Kemudian dari sinilah para ulama merumuskan, ketika tuan rumah keberatan atas puasa sunnah tamunya, maka hukum membatalkan puasa sunnah baginya untuk menyenangkan hati (idkhalus surur) tuan rumah adalah sunnah karena perintah Nabi SAW dalam hadits tersebut. Bahkan dalam kondisi seperti ini dikatakan, pahala membatalkan puasa lebih utama daripada pahala berpuasa. (Lihat Abu Bakar bin Syatha Ad-Dimyathi, I’anatut Thalibin, [Beirut, Darul Fikr: tanpa catatan tahun], juz III, halaman 36). 
Dalam konteks ini Ibnu ‘Abbas RA mengatakan: 
  مِنْ أَفْضَلِ الْحَسَنَاتِ إِكْرَامُ الْجُلَسَاءِ بِالْإِفْطَارِ 
Artinya, “Di antara kebaikan yang paling utama adalah memuliakan teman semajelis dengan membatalkan puasa (sunnah),” (Lihat Al-Ghazali, Ihya ‘Ulumiddin, [Beirut, Darul Ma’rifah, tanpa catatan tahun], juz II, halaman 14). 
Dengan demikian kita ketahui, untuk menjalankan puasa sunnah bulan Syawal saat silaturahmi lebaran hendaknya diketahui, apakah tuan rumah berkeberatan atau tidak dengan puasa kita. Kalau ia tidak berkeberatan maka kita tetap berpuasa. Bila ia keberatan, maka lebih utama kita memakan hidangannya dan berpuasa di hari-hari bulan Syawal lainnya. Wallahu a’lam.

Sumber

Empat Jenis Pertanyaan yang Perlu Diketahui menurut Imam Al-Ghazali

واعلم أن مرض الجهل أربعة أقسام: ثلاثة لاعلاج لها وواحد يمكن علاجه

Artinya, “Ketahuilah, penyakit kebodohan ada empat jenis. Tiga di antaranya tidak dapat disembuhkan. Tetapi satu lainnya kemungkinan dapat disembuhkan,” (Lihat Imam Al-Ghazali, Khulashatut Tashanif fit Tashawwuf pada Majmu’atu Rasa’ilil Imam Al-Ghazali, [Kairo, Al-Maktabah At-Taufiqiyyah: tanpa tahun] halaman 189). 
Pertama, pertanyaan atau keterangan pengantar yang bersumber dari hasad atau kedengkian. Hasad adalah penyakit yang (hampir-hampir) tidak dapat disembuhkan. Setiap kali pertanyaan ini dijawab dengan beragam penjelasan dan jawaban sebaik apapun, maka jawaban itu hanya menambah hasad orang yang bertanya. Hasad orang itu akan menambah kesombongan pasien.
Al-Imam Al-Ghazali menyarankan kita untuk tidak menjawab pertanyaan jenis ini. Ia mengutip syair sebagai berikut:
 كلُّ العداوة قد ترجى إزالتها إلا عداوة من عاداك من حسد 
Artinya, “Setiap permusuhan terkadang dapat diharapkan hilang (padam) kecuali permusuhan yang memusuhimu karena hasad,” (Lihat Imam Al-Ghazali, Khulashatut Tashanif fit Tashawwuf: 189). Al-Imam Al-Ghazali menyarankan kita untuk mengabaikan dan berpaling dari pertanyaan orang dengki sebagai bentuk pengamalan Surat An-Najm ayat 29. Penjelasan dan upaya penyembuhan ketidaktahuan seseorang yang dilatari kedengkian hanya akan menyalakan api kedengkiannya. Pasalnya, pertanyaan yang dilontarkan memang bukan diniatkan untuk mengobati ketidaktahuannya, tapi karena kedengkiannya.
 فَأَعْرِضْ عَنْ مَنْ تَوَلَّى عَنْ ذِكْرِنَا وَلَمْ يُرِدْ إِلَّا الْحَيَاةَ الدُّنْيَا 
Artinya, “Berpalinglah dari orang yang berpaling dari mengingat Kami; dan yang tidak menginginkan selain kehidupan dunia,” (Surat An-Najm ayat 29). 
Kedua, penyakit yang bersumber dari kedunguan dan kebebalan (al-hamaqah atau al-ahmaq). Penyakit ini hampir tidak dapat disembuhkan. Nabi Isa AS mengatakan, “Aku berdaya untuk menghidupkan orang mati. Tetapi aku tidak berdaya memperbaiki orang bebal.” Orang dungu atau bebal adalah orang yang mempelajari satu dua hari satu bab sebuah ilmu dan belum masuk sama sekali mempelajari ilmu aqli (salah satunya ilmu kalam, ilmu tauhid, atau ilmu logika) dan ngeyelnya setengah mati. Orang seperti ini dijelaskan juga tidak mau mengerti karena bawaan ilmu segenggam atau seujung kuku. Tetapi nahasnya dengan bekal ilmu sehari atau dua hari itu, ia mengajukan pertanyaan (sejenis sanggahan atau penolakan) kepada ulama yang menghabiskan usianya untuk mempelajari dan memperdalam berbagai ilmu pengetahuan yang serumpun. Orang dungu atau bebal tidak menyadari penolakan atau sanggahan seorang pelajar pemula kepada seorang alim (guru) besar bersumber dari kebodohan dan ketidaktahuan. Ia tidak menyadari kemampuan dirinya dan kapasitas keilmuan guru besar tersebut karena kedunguan dan kebebalannya. Oleh karena itu, kita disarankan untuk berpaling dan mengabaikan jawaban untuk orang seperti ini. (Lihat Imam Al-Ghazali, Khulashatut Tashanif fit Tashawwuf: 189). 
Pada kesempatan lain, Imam Al-Ghazali mengatakan, orang dungu atau bebal adalah orang yang menuntut sedikit (kurang dari satu bab) dari bagian ilmu sebentar atau instan (zamanan qalilan) baik ilmu aqli maupun ilmu syariat. Ia mencoba mengajukan pertanyaan kepada seorang ulama besar yang menghabiskan umurnya untuk ilmu aqli dan ilmu sya’ri. Tetapi konyolnya, ia menyangka bahwa sebuah materi pengetahuan yang problematik (musykil) menurutnya juga musykil menurut si alim besar. (Lihat Imam Al-Ghazali, Ayyuhal Walad pada Majmu’atu Rasa’ilil Imam Al-Ghazali, [Kairo, Al-Maktabah At-Taufiqiyyah: tanpa tahun] halaman 283). 
Ketiga, penyakit orang yang melontarkan pertanyaan karena kelemahan daya pikir atau IQ rendah (baladah atau balid). Orang ini meminta penjelasan atas ucapan ulama. Tetapi ia sebenarnya tidak memiliki kecakapan untuk memahami hakikat ucapan ulama karena keterbatasan daya pikirnya. Ia menanyakan pandangan-pandangan dan pokok pikiran ulama yang pelik, jelimet, rumit, abstrak, atau “tinggi” lagi-lagi karena keterbatasan daya jangkau pikirannya. Tetapi ia tidak menyadari kapasaitas daya pikirnya. Untuk orang ini, Imam Al-Ghazali menyarankan kita untuk mengabaikan pertanyaan mereka sesuai sabda Nabi Muhammad SAW berikut ini:
 نحن معاشر الأنبياء أمرنا بأن نكلم الناس على قدر عقولهم 
Artinya, “Kami para nabi diperintahkan untuk berbicara kepada umat manusia sesuai kapasitas daya pikir mereka.” 
Keempat, penyakit orang yang mencari petunjuk dan ia memiliki kecerdasan, kecakapan, dan kapasitas serta daya pikir yang bagus untuk menerima pelajaran. Ia tidak terpengaruh dan terbawa hanyut oleh marah, syahwat, hasad, kerakusan pada harta, dan nafsu gila kekuasaan.   Ia adalah orang yang mencari jalan kebenaran. Ia melontarkan pertanyaan-pertanyaan yang tidak membingungkan. Pasien seperti ini, kata Al-Imam Al-Ghazali, dapat disembuhkan. Upaya pengobatan terhadap orang seperti ini layak bahkan wajib ditempuh. Wallahu a’lam.

Sumber